Khasanah Tinggalan
Budaya Indis di Malang
A. Latar Keberadaan
Budaya Indis di Kawasan Malang
Malang adalah salah
satu daerah di Jawa Timur yang memiliki banyak tinggalan budaya Indis.
Kota-kota lain yang tergolong kaya akan peninggalan budaya Indis adalah
Surabaya, Pasuruan dan Probolinggo, Di samping itu, kendati tidak sekaya
keempatnya, Kota Kediri, Kabupaten Sumenep dan Tuban, serta Kecamatan Besuki,
Babad dan Bangil juga mempunyai cukup banyak tinggalan budaya Indis. Di wilayah
Malang, tinggalan budaya Indis paling banyak berada di dalam Kota Malang. Di
luar Kota Malang, masih terdapat sejumlah tempat yang juga kedapatan banyak
peninggalan budaya Indis, seperti Lawang, Batu dan Turen. Peninggalan budaya
Indis di kawasan Malang tersebar di penjuru wilayah-nya. Kekayaan akan
tinggalan budaya Indis itu tak lepas dari perannya pada masa Hindia Belanda,
baik dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, dan lebih dari itu dilatari
oleh keelokan panorama alamnya yang sejuk-nyaman.
1. Malang sebagai Pusat
Perlawanan terhadap Kolonialisme
Pemerintah Kompeni
Belanda berhasil memasuki dan menguasai daerah Malang lebih belakangan jika
dibandingkan dengan penguasaannya terhadap wilayah-wilayah lain di Jawa Timur.
Hal ini disebabkan dalam kurun waktu sekitar 60 tahun (1707-1767) Malang
menjadi pusat perlawanan terhadap Kompeni Belanda dan sekaligus terhadap
pemerintah kerajaan Mataram. Sebenarnya jauh sebelum itu (1679), Ngantang di
bagian barat Malang, tepatnya di bukit Selokurung, pernah dijadikan benteng
pertahanan terakhir dari Trunajaya yang berkoalisi dengan bangsawan Goa, Kraeng
Galengsong. Pasukan Kompeni di bawah pimpinan Kapten Francois Tack yang
berkoalisi dengan prajurit Mataram masa pemerintahan Amangkurat II berhasil
menggempur benteng Selokurung. Dalam pertempuran hebat itu Kraeng Galengsong
gugur, sementara Trunajaya ditangkap.
Berselang tujuh tahun
(1686), kembali daerah Malang menjadi basis perlawanan Untung Surapati terhadap
koalisi Kompeni Belanda dan raja Mataram (Amangkurat II). Se-telah Surapati
mendirikan pemerintahan di Pasuruan dengan status otonom dari Mataram dan
menobatkan diri sebagai Adipati Wiranegara, dalam kurun waktu 20 tahun
(1686-1706) Malang ditempatkan di bawah kekuasaannya. Pada tahun 1706 pasukan
gabungan yang terdiri atas tentara Kompeni, Madura (Cakraningrat), dan Kartasura
berhasil menggempur pertahanan Wiranegara di Pasuruan, dan Wiranegara sendiri
tewas dalam pertempuran di Bangil. Sepeninggalnya, anak-cucunya melanjutkan
perjuangan, dengan kembali menjadikan Malang sebagai sentra perlawanan. Mereka
mendapat dukungan dari sultan terguling Amangkurat III (Sunan Mas), Pangeran
Singasari (saudara Hamengkubuwana I dan sekaligus paman Pakubuwana III),
Adipati Mlayakusuma, serta para pejuang dari daerah-daerah lain yang mengalir
masuk ke Malang sejak 1757-1825. Pasca Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran
Diponegoro (1825-1830), sejumlah lasykar Diponegoro menyusup ke Malang,
khususnya di Malang selatan. Sebagian lainnya menyusup hingga ke wilayah Kota
Malang dan Singosari. Bahkan, diantara mereka ditokohkan oleh warga setempat,
seperti Kanjeng Kiai Zakaria II (Eyang Djoego) di Kesamben dan Gunung Kawi,
Honggo Koesoemo di Kota Malang, serta Hamimuddin di Bungkuk Singosari.
Kota Malang yang berada
di lingkung gunung, terisolasi oleh sejumlah aliran su-ngai (Brantas, Metro,
Bango, Amprong), dan kala itu berhutan cukup lebat adalah tempat cocok bagi
basis konsolidasi untuk lancarkan kembali serangan terhadap lawan (Kompeni
Belanda dan Mataram). Dalam jangka lebih dari 60 tahun (1706-1767), Malang
dijadikan basis perlawanan. Perlawanan baru pupus tahun 1767, ketika Kompeni
Belanda berhasil menguasai Malang dan mendirikan benteng (loge, dalam lidah
Jawa menjadi “loji”) di utara aliran Bantas. Kendati demikian, hingga empat
tahun sesudahnya (1767-1771), pertempur-an sporadis masih berlangsung. Pada
tahun 1768 Pangeran Singasari ditangkap, disusul penangkapan keturunan terakhir
Surapati pada tahun 1771. Kekacauan terjadi di Malang yang terjadi lebih dari
setengah abad itu menjadikan kawasan ini nyaris tidak berpenghuni. Hal ini
dapat dilihat dari jumlah penduduknya. Pada tahun 1905, yakni 135 tahun sesudah
pendudukan Belanda atas Malang), penduduknya hanya berjumah 30.000 orang. Pada
tahun 1920 jumlah penduduk di Malang meningkat jadi 46.500 jiwa, yang terdiri
atas 40.000 orang pribumi, 4.000 orang Timur Asing dan 2.500 orang Eropa.
Untuk mengamankan
dirinya tentara Kompeni mendirikan rumah-benteng (loji) di utara aliran
Brantas, yang kini menjadi areal Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) “Syaiful
Anwar”. Pada sekitar tahun 1800-an loji ini dialihfungsikan jadi Rumah Sakit
Militer (Militair Hospitaal), yakni setelah pertahan militer digeser kearah
timur, mulai dari belakang Militair Hospitaal hingga Rampal. Lokasi Rampal
Ganizoen lebih dekat dengan pusat perlawanan Pribumi yang berada di seberang
selatan sungai Brantas, yaitu di
Tumenggungan. Daerah bekas loji pertama dan sekitarnya hingga kini
disebut “Klojen Lor”. Toponimi “Klojen” meru-
pakan kata jadian yang terbentuk dari “ka-loji-an”. Lokasi loji yang
pertama cocok sebagai tempat pertahanan, karena berada di tanah membukit pada
seberang utara Brantas, yang terpisah dengan lokasi pertahanan pejuang Pribumi
di Tumenggungan. Selain itu bila suatu waktu terjadi serangan dari pejuang
Pribumi, pasukan Kompeni bisa meloloskan diri lewat terowongan yang ditembuskan
ke lembah Brantas. Pada tahun 1800-an itu pula didirikan benteng kedua, dengan
lokasi lebih ke arah selatan. Warga setempat menamai eks lokasi loji kedua dan
daerah sekitarnya dengan “Klojen Kidul (Loji Selatan)”. Instalasi pertahanan
militer lain dibangun jauh di utara, yaitu di Lawang, yang menjadi “pintu”
masuk utama ke wilayah Malang. Oleh karenanya, cukup alasan untuk mempredikati
Malang sebagai “Kota Garnizoen”. Bahkan, hingga kini Malang menjadi basis
militer. Bukan saja menjadi pang-kalan militer Angkatan Darat, namun juga
pangkalan Angkatan Udara dan Marinir.
Kendati Kompeni Belanda
berhasil menduduki Malang (1767), namun bukan ber-arti bahwa perlawanan rakyat
serta merta berakhir. Hingga empat tahun berikutnya (1771) masih berlangsung pertempuran-pertempuran
sporadis. Kondisi itu yang antara lain menja-di pertimbanga untuk tidak segera
membangun rumah tinggal di luar loji. Masih dibutuhkan waktu hingga 50 tahun
untuk berani membuat rumah tinggal di luar loji. Pada tahun 1821, ketika
kedudukan Kompeni Belanda di Malang mulai mantap, mulai dibangun rumah-rumah
tinggal di luar loji. Itupun mula-mula dididrikan tidak jauh dari loji, di
sepanjang jalan Claket dan Oro-oro Dowo
pada seberang utara dan selatan Brantas serta Klojen Lor dan Rampal. Kemudian,
setelah didirikan benteng yang kedua (Loji Selatan) pada tahun 1800-an,
orang-orang Belanda mulai berani membuat rumah tinggal tak jauh dari loji.
Benteng ini seakan melindungi permukiman orang Belanda yang ada di Taloon,
Tongan, Kasin, Kayutangan, Sawahan dan Kauman, dan sekaligus pelindung bagi
pusat pemerintahan yang berada di pusat kota (Alon-alon). Ekspansi militer
Kompeni Belanda ke Malang (1767) menjadi titik mula bagi munculnya
permukiman-militer Belanda di Malang, yang nantinya berkembang jadi
permukiman-sipil. Pada tahun 1826-1867, ketika kedudukan Belanda kian mantap,
mu-lailah dilakukan penataan kota sesuai dengan kepentingan masyarakat
kolonial. (bersambung)
sumber: http://nasional.kompas.com/read/2008/10/17/21491895/khasanah.tinggalan.budaya.indis.di.malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar