Minggu, 17 April 2016

BOIKOT Putu Wijaya

Boikot
Cerpen Putu Wijaya (Suara Merdeka, 6 Maret 2011)

SEORANG warga memelihara hantu di rumahnya. Berita itu mula-mula menjadi bahan tertawaan. Tetapi ketika beberapa warga mulai datang untuk menengok hantu itu dan diam-diam minta pertolongan, masalahnya jadi berbeda.

Ada yang datang untuk minta kesembuhan. Ada yang ingin kaya. Ada yang minta naik pangkat. Minta jodoh. Anak-anak sekolah juga datang mau lulus ujian tanpa harus belajar. Ada juga koruptor-koruptor teri yang minta jangan sampai ulahnya ketahuan, tapi bukan untuk kapok, malahan mau meneruskan kariernya.


Tengah malam ada wakil rakyat, mau berdialog dengan hantu dan meminta supaya diberikan petunjuk bagaimana mengurus masyarakat agar jangan bergolak. Ia membaca berita dan desas-desus bahwa gerakan menumbangkan Mubarak di Mesir telah mengalir ke seluruh Timur Tengah. Gaddafi yang angker itu juga sudah dikepret. Ia takut teori domino akan menjalar ke arahnya.

Pemilik hantu menikmati kedatangan orang-orang itu. Ia mulai buka warung kecil. Kemudian juga menyediakan kamar bagi yang ingin menginap. Akhirnya ia mengenakan tiket masuk, bagi yang ingin berjumpa dengan peliharaannya. Kabar terakhir, ia memasang plakat di depan rumahnya, bahwa hantunya sudah beranak. Sekarang ia punya sembilan hantu. Masing-masing hantu punya keahlian sendiri-sendiri dan tarif ketemu juga sendiri-sendiri. Ketemu juga sendiri-sendiri.

“Ini kebodohan yang harus dibasmi!” kata Ami memanasi Amat supaya bertindak.

“Masak di negeri yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa ini, masih ada orang yang memelihara hantu. Bapak harus bertindak. Ini penipuan!”

Bu Amat setuju.

“Ya, betul! Sebagai orang yang disegani karena dianggap orang tua di lingkungan kita ini Bapak jangan biarkan tetangga itu memelihara hantu. Kan ada Puskesmas, kalau sakit ya berobatnya ke situ. Jangan minta sama hantu. Lihat, sejak tetangga memelihara hantu, anak-anak tidak mau belajar lagi, padahal ujian sudah dekat! Mereka percaya hantu itu akan membantu mereka lulus!”

Amat hanya ketawa.

“Biarin saja. Kalau dilarang, nanti dikira kita iri. Dia kan banjir uang sejak memelihara hantu. Lihat rumahnya sekarang dibangun. Tiga lantai lagi!”

Memang betul, hantu itu membawa perbaikan ekonomi. Yang datang, tak hanya beli tiket, tapi juga membawa oleh-oleh. Kalau pulang meninggalkan amplop yang tentu saja akhirnya jatuh ke tangan pemilik rumah. Apalagi yang pernah meninggalkan amplop tebal, mengaku seluruh permintaannya terkabul.

“Jangan dikira hantu tidak mengerti duit,” kata tamu yang sudah berkali-kali datang, “kalau duit yang kita masukkan ke amplop itu kotor apalagi palsu, tahu sendiri akibatnya. Mesti duit baru dari bank. Kalau pakai dollar, serinya harus jelas!”

Pemilik hantu itu sendiri tidak punya komentar apa-apa. “Tiket ini gunanya untuk membatasi dan mengatur aliran pengunjung supaya tertib,” katanya memberikan argumentasi, “kami sama sekali tidak mengomersialkan hantu. Uang tiket itu kan untuk kebersihan. Adapun amplop-amplop yang ditinggal pengunjung itu, ya itu urusan pengunjung itu sendiri dengan hantu. Kami hanya menyiapkan tempat pertemuan. Silakan berdialog sendiri. Amplopnya karena ditinggal, ya kami tampung saja sebagai tanda persahabatan. Tidak seberapa kok!”

Dia bohong. Orang segera tahu berapa besar isi amplop-amplop itu, sejak di depan rumahnya mulai nangkring mobil Kijang Inova. Istrinya tidak pernah lagi jalan kaki keluar rumah. Ke tetangga pun ia diantar Inova.

“Supaya cepat. Habis kalau lama ditinggal nanti hantu-hantunya tidak ada yang ngurus. Sekarang sudah beranak lagi. Jumlahnya sudah 21.”

Sukses membuat tetangga juragan hantu itu, masuk ke dalam koran. Dengan nada sinis beberapa wartawan serentak mencerca ulah memelihara hantu itu sebagai tanda kebodohan masyarakat. Mereka mengundang petugas agar bertindak. Jangan sampai terlambat karena itu jelas-jelas menenggelamkan masyarakat ke dalam alam mimpi….

Tetapi serangan oleh koran itu malah membuat hantu-hantu yang dipelihara itu semakin terkenal. Orang-orang dari kota lain mulai berdatangan. Bahkan dari Bandung dan Jakarta. Juga tamu dari Kalimantan dan Sulawesi membanjir.

Masyarakat ikut menikmati kedatangan orang-orang itu. Tukang-tukang ojek, angkot dan warung-warung jadi panen. Beberapa penduduk ambil kesempatan menyediakan fasilitas parkir dan menginap bagi tamu-tamu.

Tapi para mahasiswa mulai bertindak. Dimotori oleh Ami dan kawan-kawannya, mereka menyelenggarakan gerakan antihantu. Beramai-ramai mereka mencoba menghalang-halangi pengunjung dengan memberikan keterangan bahwa semua itu isapan jempol. Tapi usaha itu gagal, yang datang tidak peduli.

“Bukan soal percaya-atau tidak pada hantu,” kata mereka, “kami hanya mencoba mencari jalan alternatif untuk membereskan persoalan-persoalan kami yang sudah tidak sanggup kami hadapi sendiri. Siapa tahu ini akan berhasil. Saudara-saudara mahasiswa tidak berhak melarang kami! Jangan pikir karena kalian mahasiswa, kalian yang paling benar! Kami juga warga negara!”

Para mahasiswa keki. Mereka tak bisa lagi menahan beberapa anggotanya menyerbu rumah hantu itu dengan lemparan batu. Tapi itu sama sekali tidak membuat rumah hantu itu ditutup. Malah tetangga itu menyediakan beberapa tukang pukul, menjamin kenyamanan para pengunjungnya.

“Ini negara merdeka dan tidak ada larangan untuk memelihara hantu!” protes pemilik hantu itu pada Amat. “Saya sudah difitnah! Suara-suara negatif dari mahasiswa dan koran-koran itu semuanya dimotivasi kebencian, kedengkian karena iri hati. Mereka cemburu. Apa salahnya kalau hantu-hantu itu mendatangkan rezeki buat kami? Apa bedanya usaha saya ini dengan usaha jasa yang lain. Coba lihat, ada yang sudah 10 kali datang ke mari. Itu kan jelas membuktikan, usaha saya ini membantu masyarakat!”

“Apa mereka pikir enak memelihara hantu? Sekarang kehidupan pribadi saya sudah terganggu karena setiap detik rumah penuh dengan tamu. Saya sudah hampir tidak bisa bernapas lagi karena ngurus tamu. Sementara hantu-hantu itu terus berkembangbiak cepat. Sekarang jumlahnya sudah 100. Saya sekeluarga sudah capek. Saya sudah mau berhenti. Tapi karena dicaci, dicerca, dipojokkan, saya jadi berbalik. Itu semua bukan kritik, itu fitnah! Kritik itu berisi pikiran sehat. Tapi mereka hanya mencaci-maki, menjelek-jelekkan , menghasut masyarakat, menggiring opini publik untuk membenci saya! Saya akan lawan fitnah itu! Rumah hantu ini akan saya lestarikan, biar hantunya terus berkembang sampai jutaan!”

Para mahasiswa yang memprotes tetangga yang memelihara hantu itu semakin garang. Setiap kali ada saja usaha mereka mengganggu yang mereka sebut “bisnis terkutuk” itu. Kadang-kadang sampai terjadi perkelahian antara mereka dan para tukang pukul yang berusaha melindungi para pengunjung yang ingin berdialog dengan hantu.

Penduduk menjadi resah karena kenyamanannya terganggu. Akhirnya mereka lapor pada Pak RW yang rumahnya bersebelahan tembok dengan tetangga pemilik hantu. Pak RW langsung bertindak. Rupanya ia juga sudah lama kesal.

“Memelihara hantu itu perbuatan yang terkutuk. Apalagi mencari nafkah, memperkaya diri, membeli mobil, membangun rumah loteng sehingga menutup pemandangan rumah tetangga, dari hasil menjual jasa bertemu dengan hantu, itu perbuatan kriminal. Kita harus memboikot perilaku asosial itu. Boikot!”

Pernyataan Pak RW terdengar oleh wartawan . Langsung dikibarkan di koran lokal. Masyarakat jadi ramai. Mereka ingin tahu apa yang dimaksudkan dengan boikot. Apakah itu berarti tetangga itu akan dikucilkan dari lingkungan. Atau diusir? Atau hanya sekadar digertak.

Dilalah seruan boikot itu membuat rumah yang memelihara hantu itu semakin ramai dikunjungi. Yang semula menganggap itu dagelan, karena penasaran akhirnya datang. Mereka beli tiket. Membawa oleh-oleh seperti yang lain. Dan setelah jumpa dengan hantu, meninggalkan amplop. Ada juga yang datang kembali, seperti ketagihan ketemu hantu.

Para mahasiswa pun meningkatkan kegiatannya. Mereka mendirikan posko dan gencar memberi informasi kepada para tamu. “Sudah waktunya dunia mistik, klenik dan semacamnya disikat habis. Manusia Indonesia harus hidup rasional, realistis dan bekerja kalau mau maju. Jangan meminta pertolongan hantu.”

Omzet rumah hantu itu melonjak. Tetangga pemilik hantu kebanjiran duit. Tukang pukulnya bertambah. Mereka sudah diperlengkapi dengan walkie-talkie dan pakai motor dalam menyambut dan mengamankan tamu-tamu yang mau diskusi dengan hantu.

“Sudahlah hentikan protes dan demo,” kata Bu Amat menasihati Ami. “Lihat hasilnya, malah hantunya semakin laris dan pemiliknya tambah kaya. Jangan-jangan nanti kalian dituduh kerja sama, menolong mengiklankan dagangan hantunya!”

Ami terkejut.

“Amit-amit, kami mau memberantas irasionalitas dari negeri ini, mana mungkin kami membantu orang yang memperdagangkan hantu?”

“Ibu mengerti. Tapi protes-protes kalian sudah membuat pengunjungnya tambah banyak. Nanti kalau ada wartawan dari Jakarta, kalian bisa dituduh sudah kongkalikong. Perjuangan kalian yang suci akan ternoda, Ami!”

Ami marah. Bersama kawan-kawannya dia mendesak Pak RW untuk mengambil tindakan. Pak RW lalu mengumpulkan warga dan sekali lagi menyerukan: boikot. Tak cukup hanya di lingkungan sendiri, para mahasiswa mengajak Pak RW menghadap yang berwenang.

Lalu tetangga yang memelihara hantu itu datang lagi ke Pak Amat, curhat.

“Pak Amat,” katanya panik, “maaf beribu maaf, saya tidak paham, mengapa saya dicaci-maki dan difitnah seperti ini? Boikot itu kan hukuman keras yang berat sekali. Itu lebih kejam dari pembunuhan. Dan yang lebih mengherankan saya, kenapa Pak RW yang mengatakannya? Kalau Ami dan adik-adik mahasiswa itu, saya mengerti, karena itu merupakan aspirasi kaum muda yang kelebihan energi. Tapi seorang RW yang bertugas mengayomi warganya, kok sudah mengucapkan sanksi sosial yang sangat keji seperti itu. Boikot itu kan bukan main-main, Pak. Padahal hasil dari usaha memelihara hantu kan sudah saya sumbangkan, untuk memelihara jalan, kebersihan dan juga pendirian sekolah? Kenapa saya dihujat, Pak Amat?” Amat tak sanggup menjawab. Dia lama terdiam. Akhirnya hanya bisa menatap. Tetangga itu merasa tetapan itu memberinya angin.

“Betul, Pak Amat, saya punya catatan. Kalau dijumlahkan, sejak memelihara hantu, saya sudah menyumbang hampir Rp 50 juta kepada Pak RW untuk dimanfaatkan buat lingkungan kita. Itu semuanya saya dapat dari mereka yang berkunjung mau ngobrol dengan hantu. Tetapi kenapa saya dikutuk terus oleh pejabat yang saya hormati seperti Pak RW? Lho, Pak Amat tidak keberatan kan saya memelihara hantu? Ini kan wiraswasta yang tidak memberikan dampak polisi. Ya kan, Pak Amat? Setuju Pak Amat?”

Amat manggut-manggut. Sebenarnya tidak berarti membenarkan, hanya bermaksud menunjukkan ia paham jalan pikiran tetangganya itu. Tapi tetangga itu seperti dapat angin.

“Orang seperti Pak Amat ini, yang saya hargai objektivitas, kenetralannya yang tanpa pamrih, punya partisipasi besar pada perjuangan. Pak Amat saja tidak protes, kok Pak RW yang saya harapkan akan melindungi saya sebagai salah seorang warganya, kok ngomong boikot. Lho saya bukan orang yang supersensitif yang tidak bisa menerima kritik. Sama sekali tidak. Saya orangnya terbuka kok. Pak Amat lihat sendiri kan, itu bukan kritik, saya sudah jadi korban, itu cercaan, fitnah, saya dijelek-jelekkan. Kenapa? Karena saya dapat keuntungan? Tapi saya sudah menyumbang Rp 50 juta kan? Bagaimana pendapat Pak Amat? Apa saya harus menghentikan memelihara hantu? Ini kan sumber penghidupan saya sekarang? Sumber pemasukan buat lingklungan juga! Bagaimana Pak Amat?”

Amat menggeleng-geleng tak tahu harus menjawab bagaimana. Tapi tetangga yang punya usaha hantu itu menganggap gelengan itu sebagai dukungan.

“Ya hanya Pak Amat yang bisa saya ajak bicara. Hanya Pak Amat yang mendukung saya… Perkara tidak suka, boleh saja. Tapi kita kan sudah merdeka dan hidup di alam demokrasi. Boleh dong saya juga punya pendapat dan kebebasan berusaha. Kok diboikot? Tindakan saya bener kan Pak Amat.”

Amat mengangguk, tapi bukan membenarkan. Dia sudah mulai tahu bagaimana harus menanggapi. Dia menatap tetangga yang memelihara hantu itu dengan pandangan bahwa dia sudah mendengar semua keluhannya, tapi bukan berarti dia setuju. Mereka berpandang-pandangan. Ketika Amat mau membuka mulut, tiba-tiba tetangga itu meraih tangan Amat dan menjabatnya sangat erat.

“Terimakasih, Pak Amat. Pak Amatlah satu-satunya yang orang yang sudah memberikan kritik pada saya. Yang lainnya itu hanya fitnah orang yang iri karena tidak kebagian. Terima kasih!”

Tetangga itu cepat-cepat pergi. Tapi esoknya dia langsung menghentikan bisnis memelihara hantunya, sehingga lingkungan aman kembali. (*)



Jakarta, 26 Pebruari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar