Selasa, 05 April 2016

RUMAH KECIL DI BUKIT SUNYI Karya Tri Astoto Kodarie

RUMAH KECIL DI BUKIT SUNYI
Karya Tri Astoto Kodarie


Di atas bangku bambu yang reyot, pak Kerto menjulurkan kedua
kakinya. Sebentar-sebentar tangannya mengurut-urut kedua kakinya yang
kurus kering itu. Tak lama kemudian ia beranjak dari bangku kemudian
melangkah ke bilik belakang yang hanya dibatasi dengan rajutan daun rumbia.
Lalu diambilnya beberapa potong ubi dari sebuah panci dan diletakannya di
atas selembar daun pisang yang sudah agak mengering. Kemudian melangkah
balik ke depan dan duduk di bangku bambu itu kembali.


Dinikmatinya perlahan sepotong demi sepotong ubi rebus, diteguknya
pula sisa kopi di gelas untuk melancarkan jalannya
kunyahan ubi itu di tenggorokan. Gelas itu belum sempat diletakkan, sisa
sedikit kopi diteguknya kembali hingga tandas. Setelah itu gelas diletakkan
di bawah bangku, kemudian diambilnya puntung rokok yang terselip di selasela
telinganya. Disulut dan dihisapnya kuat-kuat, asapnya dihembuskan
perlahan-lahan. Nikmat sekali nampaknya.
Pintu tiba-tiba berderak dibuka seseorang dan disusul munculnya lelaki
berperawakan pendek dengan perut yang gendut.
“Ooo….juragan. Silakan gan”, sambut pak Kerto sambil membungkukbungkuk.
Dan dengan tergesa dibersihkannya bangku bambu yang sudah
reyot itu. Masih dengan membungkuk hormat Pak Kerto mempersilakan
lelaki gendut yang dipanggilnya juragan itu untuk duduk di bangku.
“Bagaimana? Apakah semuanya sudah beres?” tanya sang juragan
dengan mimik serius. Matanya sesekali memandang rumah kecil itu.
“Sebagian sudah saya panen, gan. Dan yang belum sisa ladang sebelah
kanan parit. Silakan juragan periksa hasil panenan itu”.
“Dimana kau letakkan, Kerto?”
“Ada di samping rumah, gan. Semuanya berjumlah enam karung terigu.
Bagus-bagus hasil panenan kali ini”, kata Pak Kerto sambil membuang sisa
rokoknya yang sudah mati. Kemudian juragan itu beranjak dari bangku dan
keluar diikuti Pak Kerto. Kedua orang itu melangkah menuju samping
rumah. Dan sang juragan segera mendekati tumpukan karung. Sesaat,
dibukanya salah satu karung dan diambilnya sehelai daun yang ada di
dalamnya, kemudian sehelai daun itu diciumnya.
“Ahhh, luar biasa!” teriaknya kegirangan.
“Bagus-bagus sekali panenan kali ini, Kerto”, lanjut juragan itu sambil
menepuk-nepuk punggung Pak Kerto. Pak Kerto hanya menganggukangguk
pelan. Dalam hati Pak Kerto ada rasa bahagia karena bisa membuat
juragan senang yang berarti ia nanti akan mendapat tambahan upah. Watak
juragan memang begitu, kalau sedang senang ia tak segan-segan
memberinya tambahan upah. Tapi kalau sebaliknya, berkata pun tidak,
apalagi tambahan upah, kata Pak Kerto dalam hati.
“Enam karung ini disimpan yang baik dan jangan sampai kena hujan. Dua
hari lagi aku akan kembali ke sini mengambil semua hasil panenan”, ucap
juragan sambil berkecak pinggang.
 “Baik, gan”.
“Jangan lupa, simpan karung-karung ini baik-baik”.
“Akan saya laksanakan, gan”, jawab Pak Kerto lirih sambil membungkukbungkuk.
Sementara matahari berangsur tenggelam dan juragan yang gendut itu
menuruni perbukitan, meninggalkan Pak Kerto yang masih termangu-mangu
diterpa semilir angin senja. Tubuh Pak Kerto yang kurus itu masih saja tegak
berdiri mematung memandangi juragannya yang terseok-seok jalan di
pematang sawah.
Suara serangga bersahut-sahutan mewarnai malam yang dingin. Pak Kerto
berbaring di bangku bambu yang reyot itu sambil berselimut selembar sarung.
Ia tak dapat tidur, padahal matanya sudah terasa berat oleh kantuk yang
menggelantunginya.
Sebentar kemudian diperbaiki letak sarungnya untuk menghalau dingin.
Kedua telapak tangannya diletakkan di bawah kepalanya sebagai alas
pengganti bantal. Sementara lampu minyak yang tergantung di sudut ruangan
semakin redup. Barangkali habis minyaknya, pikir pak Kerto.
Matanya belum juga bisa dipejamkan. Ditariknya nafas dalam-dalam.
Pikirannya tertuju pada pohon-pohon kecil di ladang sebelah kanan parit yang
besok harus dipanen.
Ia sebenarnya tak habis pikir, untuk apa juragan menanam pohon-pohon itu?
Ia sendiri tak tahu, apa nama pohon yang bentuknya hampir mirip tanaman
cabai itu. Dan ia hanya tunduk pada segala perintah juragannya lalu
mendapatkan upah. Ya, hanya itu saja yang Pak Kerto lakukan. Sementara Pak
Kerto sendiri dilarang bergaul dengan orang-orang di sekitar perbukitan. Itu
Perintah juragan dan harus dipatuhi.
Pak Kerto sendiri kalau pulang ke kampungnya paling cepat empat bulan
sekali. Itu kalau musim panen tiba dan ia harus pulang bersama juragan yang
membawa semua hasil panenan menuju kota. Juragan memang selama ini
selalu baik, itu saja yang ia ketahui. Setiap pulang ke kampung, juragan selalu
membekalinya beberapa potong pakaian, susu kaleng, roti kalengan, selain
upah yang rutin ia terima.
Sejauh ini Pak Kerto belum tahu jenis apa dan untuk apa pohon-pohon itu
ditanam. Ah, kenapa aku harus memikirkannya? desah Pak Kerto lirih. Sementara
di luar gemersik dedaunan bergesekan dihembus angin malam perbukitan.
Senandung serangga malam sisa satu dua yang terdengar dan mulai ditingkahi
suara kokok ayam satu-satu bersahutan di kejauhan.
Pak Kerto baru saja selesai melipat sarungnya yang agak kumal. Sebentarsebentar
ditariknya nafas dalam-dalam. Kini tinggal melipat kaos oblong yang
berwarna hijau pudar itu. Tak lama lagi pasti juragan akan datang lalu aku akan
ikut serta dengan juragan ke kota, katanya dalam hati.
Selintas dipandanginya tumpukan karung terigu. Semuanya berjumlah sebelas
karung. Kemarin Pak Kerto memanen ladang sebelah kanan parit dan mendapat
lima karung terigu penuh. Pak Kerto tertegun sejenak, rambutnya yang agak
memutih diusapnya perlahan. Tinggal apalagi yang harus dikemas, pikirnya.
Kedua matanya memandangi seputar ruangan itu, tapi ia tak menemukan
sesuatu yang mesti dibawa pulang.
Disandarkannya tubuh yang kurus itu ke tumpukan karung di sampingnya.
Pikirannya menerawang jauh ke kampung halamannya. Sedang apa istri dan
kedua anakku sekarang ya?, tanyanya dalam hati. Sesampainya di kota nanti pak
Kerto ingin membelikan kain kebaya buat istrinya, juga dua sandal plastik buat
kedua anaknya. Dan bibir pak Kerto yang hitam dan kering itu berdecah-decah
kemudian tersenyum-senyum sendiri. Rasa hatinya bahagia sekali karena
sebentar nanti akan segera bisa melepas kerinduan pada istri dan kedua anaknya,
setelah empat bulan lebih berpisah.
Pak Kerto kemudian bangkit dan berjalan menuju bilik belakang. Diambilnya
sisa kopi yang tinggal seperempat gelas lalu diminumnya hingga tandas. Belum
juga ia sempat meletakkan gelasnya, tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk
pintu. Ahh.., juragan datang, kata Pak Kerto lirih penuh kegembiraan. Ia segera
meletakan gelasnya dan dengan langkah yang tergesa Pak Kerto menuju ke bilik
depan.
“Sebentar gan, sebentar…”, kata pak Kerto girang sambil membuka palang
pintu. “Biasanya kan langsung masuk, gan”, lanjutnya sambil menguak daun
pintu.
Dan Pak Kerto merasa seluruh aliran darahnya terhenti ketika di depannya
berdiri empat orang polisi dengan senjata di tangan.
“Jangan bergerak!” gertak salah seorang polisi. Sedangkan ketiga polisi lainnya
langsung masuk rumah kecil itu. Pak Kerto sendiri berdiri kaku, mematung, tak tahu
apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Maaf, Bapak saya tangkap,” kata polisi yang habis menggertak tadi sambil
mendekat dan memborgol kedua tangan Pak Kerto. Dan pak Kerto semakin
bertambah bingung.
“Apa kesalahan saya, Pak?” tanya Pak Kerto terputus-putus.
“Bapak telah menanam dan menyimpan pohon ganja, padahal pohon-pohon
ganja ini dilarang ditanam oleh pemerintah,” jawab polisi itu tegas.
“Tapi saya hanya disuruh juragan. Saya hanya melaksanakan perintah juragan,
Pak,” kata Pak Kerto tertunduk.
“Saya mengerti dan memahami keadaan Bapak. Juragan bapak sekarang ada di
tahanan polisi.”
Polisi itu kemudian menyuruh Pak Kerto berjalan menuruni lereng perbukitan.
Sedang ketiga polisi lainnya memanggul beberapa karung terigu yang berisi daun
ganja dengan dibantu beberapa peladang yang kebetulan berada di sekitar
perbukitan itu.
Pak Kerto tertunduk menuruni lereng perbukitan. Inilah jawaban atas teka-teki
tanaman itu, batin Bak Kerto. Ya, dua tahun lebih baru terjawab sekarang, batinnya
lagi dalam hatinya. Tak terasa pipi keriput lelaki tua itu sudah basah oleh air mata.
Sementara rumah kecil di atas bukit semakin jauh ditinggalkan. Tuhan, jerit Pak

Kerto lirih. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar