Selasa, 05 April 2016

KEAMBIGUAN PADA UJARAN ANAK USIA TAMAN KANAK-KANAK

KEAMBIGUAN PADA UJARAN ANAK USIA TAMAN KANAK-KANAK
Agus Purnomo Ahmad Putikadyanto[1]
A. Syukur Ghazali[2]
Nita Widiawati[3]

Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang 65145
Email: aguspurnomo.ap2@gmail.com

ABSTRAK: Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan keambiguan yang muncul pada siswa Taman Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta, mendeskripsikan jenis keambiguan yang paling sering muncul pada siswa Taman Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta, dan mendeskripsikan upaya untuk mengantisipasi keambiguan yang terjadi. Hasil penelitian ini adalah Keambiguan yang paling banyak ditemukan pada ujaran anak adalah pada tingkat gramatikal sebanyak 66%. Selanjutnya adalah keambiguan tingkat leksikal sebanyak 31%. Keambiguan yang paling sedikit ditemukan pada tingkat fonetik hanya sebanyak 3%. Hal ini disebabkan karena ujaran anak TK tidak cepat sehingga pendengar mempunyai waktu yang lebih lama untuk memproses interpretasinya. Selain itu juga karena anak TK sudah mulai sempurna mengujarkan bahasa layaknya orang dewasa, walaupun ada juga yang masih didapati kerancuan. Keambiguan-keambiguan tersebut dapat dihindari dengan cara memperhatikan konteksnya, pemberian penanda batas leksikal, pemberian penanda batas jeda, dan pemberian penanda batas tanda baca.

Kata kunci: Keambiguan, anak, usia taman kanak-kanak




BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Dalam penggunaan bahasa sering dijumpai penggunaan kalimatkalimat yang ambigu. Keambiguan atau ketaksaan makna adalah gejala dapat terjadinya tafsiran lebih dari satu makna. Hal ini dapat terjadi baik dalam ujaran lisan maupun tulisan. Tafsiran lebih dari satu ini dapat menimbulkan keraguan dan kebingungan dalam mengambil keputusan tentang makna yang dimaksud. Kalimat ambigu tidak harus dihindari karena kalimat ambigu pada saat tertentu harus digunakan.
Dari segi pemrosesan untuk pemahaman, kalimat ambigu memerlukan waktu yang lebih lama untuk diproses (Dardjowidjojo, 2012:76). Hal ini terjadi karena pendengar menerka makna tertentu tetapi ternyata terkaan dia salah sehingga dia harus mundur lagi untuk memproses ulang seluruh interpretasi dia. Berbagai penelitian telah dilakukan antara lain oleh MacKay (1966), Foss (1970), dan Garret (1970) (dalam Yulianty 2008) yang membuktikan bahwa keambiguan berpengaruh terhadap pemahaman. Melalui analisis Reaction Times (RT) terhadap kalimat ambigu didapati hasil bahwa kalimat ambigu memperlambat proses pemahaman dibandingkan dengan kalimat yang tidak ambigu. Ullmann (dalam Triany, 2008) ) membagi keambiguan menjadi tiga tipe utama, yaitu keambiguan tingkat fonetik, tingkat leksikal, dan tingkat gramatikal.
Pada dasarnya kemampuan anak mengeksplorasi keterampilan bahasanya berkaitan dengan komprehensi dan produksi mereka. Produksi dan komprehensi merupakan dua tingkat kemampuan bahasa yang saling berhubungan. Komprehensi lebih dahulu muncul sebelum produksi. Dardjowidjojo (2012: 243) memaparkan bahwa komprehensi adalah kemampuan seseorang untuk memahami dan mengerti apa yang dikatakan orang lain, sedangkan produksi adalah kemampuan seseorang untuk memproduksi atau menggunakan kosakata secara aktif. Bukti keterkaitan tersebut juga disampaikan Taylor (1990:54) bahwa skemata (pengalaman) disimpan manusia dalam bentuk kelancaran kata-katanya. Taylor mengilustrasikannya dengan bukti pemahaman dan ingatan jangka pendek dapat dilihat dari kelancarannya. Partisipan satu berbicara tepat jika pendengar memahami dan mengingat, setidaknya sebagian, ujaran pembicara yang lain
Pada komprehensi, informasi dari luar diterima kemudian disimpan dalam memori. Kata yang sudah tersimpan dicari kemudian untuk diujarkan dalam bentuk kata atau susunan kalimat (produksi). Anak dapat memproduksi karena adanya komprehensi sehingga anak tinggal meretrival kata yang hendak diujarkan.
Kemampuan anak memproduksi kata dipengaruhi oleh usia. Produksi kata anak-anak belum sebaik orang dewasa sehingga wajar kalau banyak ditemukan kekeliruan. Bentuk kekeliruan produksi bahasa anak dapat mengakibatkan keambiguan. Ujaran yang terdapat keambiguan menyebabkan kendala bagi proses pemahaman pendengarnya. Guru harus menyikapi keambiguan ujaran anak tersebut dengan tepat. Menurut Taylor (1990:54) input yang didapat (didengar atau dibaca) akan membangkitkan skemata. Oleh karena itu guru seharusnya terus tanpa lelah memberikan input yang benar kepada siswa supaya dapat membangkitkan dan membuat skemata anak TK.
Ada dugaan bahwa anak usia taman kanak-kanak memproduksi lebih banyak keambiguan karena masih dalam tahap awal pemerolehan bahasa. Oleh karena itu menarik apabila dilakukan penelitian tentang keambiguan ujaran anak yang muncul dengan harapan ditemukan upaya untuk mengantisipasi keambiguan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan subjek penelitian tiga siswa Taman Kanak-Kanak Dukuh I kelas B1 Sleman, Yogyakarta. Pemilihan kelas ini didasarkan pada umur siswa yang berada pada usia 5-6 tahun yang masih berada pada tahap awal pemerolehan bahasa.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa saja jenis keambiguan yang muncul pada siswa Taman Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta?
2.      Apa jenis keambiguan yang paling sering muncul pada siswa Taman Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta?
3.      Bagaimana upaya untuk mengantisipasi keambiguan yang terjadi?
C.      Tujuan Penelitian
1.      Mendeskripsikan keambiguan yang muncul pada siswa Taman Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta.
2.      Mendeskripsikan jenis keambiguan yang paling sering muncul pada siswa Taman Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta.
3.      Mendeskripsikan upaya untuk mengantisipasi keambiguan yang terjadi.
D.      Landasan Teori
Pada dasarnya terdapat dua teori keambiguan, yaitu teori garden path dan teori many meanings (Sumadi dalam Harras, 2009:108). Teori garden path menyatakan bahwa manusia tidak menganggap suatu kalimat sebagai ambigu karena hanya ada satu penafsiran terhadapnya. Sedangkan teori meanings menyatakan bahwa pendengar membuat dua atau lebih tafsiran yang berbeda untuk setiap kalimat ambigu dan segera memutuskannya mana yang benar berdasarkan konteks. Di samping itu, ada teori no meaning yang menyatakan bahwa pendengar mula‑mula tidak memberikan tafsiran apa‑apa terhadap kalimat, tetapi menunggu sampai konteks menentukan sendiri tafsiran makna yang tepat.
Kedua teori tersebut, yaitu teori garden path dan teori many meanings selanjutnya bergabung menjadi teori mixed. Teori ini menyatakan ketika pendengar menjumpai konstruksi yang ambigu, mereka memberikan penafsiran ganda. Dengan bantuan konteks, mereka memilih tafsiran yang paling tepat, kalau keambiguan belum juga terpecahkan, mereka memilih untuk berpedoman pada satu tafsiran saja, dan jika konteks yang lebih luas menolak tafsiran yang telah dipilih, mereka melihat kembali struktur lahirnya dan memberikan tafsiran baru. yang lebih sesuai.
Macam Keambiguan
Ullmann (dalam Triany, 2008) ) membagi keambiguan menjadi tiga tipe utama, yaitu keambiguan tingkat fonetik, tingkat leksikal, dan tingkat gramatikal.
1. Keambiguan tingkat fonetik
Keambiguan tingkat fonetik timbul akibat membaurnya bunyi-bunyi bahasa yang diujarkan, kadang karena kata-kata yang membentuk kalimat diujarkan terlalu cepat sehingga orang menjadi ragu akan makna kalimat yang diujarkan (Pateda dalam Triany, 2008), seperti tampak pada contoh dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris berikut:
Kutipan 1
(1) beruang /beruaN/ à ‘mempunyai uang’ atau ‘nama binatang’
(2) /bukanaNka/ à bukan angka, buka nangka, bukan nangka
(3) a near ’ginjal’ – an ear ‘telinga’
Keambiguan ini berhubungan dengan keraguan kita terhadap bunyi bahasa yang kita dengar. Kadang-kadang karena ragu-ragu, kita mengambil keputusan yang keliru.
2. Keambiguan tingkat leksikal
Keambiguan tingkat leksikal adalah macam keambiguan yang disebabkan oleh bentuk leksikal yang dipakai (Dardjowidjojo, 2012: 76). Hal ini berkaitan dengan makna yang dikandung setiap kata yang dapat memiliki lebih dari satu makna atau mengacu pada sesuatu yang berbeda sesuai lingkungan pemakaiannya, sebagaimana tampak pada contoh-contoh berikut:
Kutipan 2
(4) Ini bukunya.
(5) Masing-masing mendapat satu kursi.
(6) He was shot near the bank.
Pada (4) kata buku dapat mengandung makna lebih dari satu, sehingga pada kalimat tersebut tidak jelas yang manakah makna buku dimaksud. Begitu pula halnya pada (5) dan (6), kata kursi dan bank dapat mengandung lebih dari satu makna dan pada kedua kalimat tersebut tidak ada kejelasan makna apa yang dimaksud.
3. Keambiguan tingkat Gramatikal
Keambiguan gramatikal adalah keambiguan yang penyebabnya adalah bentuk struktur yang dipakai (Dardjowidjojo , 2012:77). Namun pendapat lain mengatakan keambiguan ini muncul pada tataran morfologi dan sintaksis (Djajasudarma dalam Triany, 2008). Pada tataran morfologi keambiguan muncul dalam pembentukan kata secara gramatikal, misalnya kata Pemukul (peN + pukul) yang bermakna ganda ‘orang yang memukul’ atau ‘alat untuk memukul’. Pada tataran sintaksis keambiguan muncul pada frasa, klausa, dan kalimat. Tiap kata yang membentuk frasa atau kalimat itu telah jelas, tetapi dalam pengombinasiannya dapat memiliki tafsiran lebih dari satu pengertian. Frasa orang tua dapat bermakna ‘orang yang tua’ atau ‘ibu-bapak’. Dalam kalimat I met a number of old friends and acquitances apakah kata old hanya mengacu pada friends ataukah pada friends dan acqutances, hal ini merupakan suatu tafsiran ganda.
Gleason dan Ratner (dalam Dardjowidjojo, 2012: 77) membagi keambiguan gramatikal menjadi dua macam, yaitu:
a. Keambiguan sementara (local ambiguity), yaitu fungsi sintaktik suatu bentuk leksikal berstatus ambigu sampai pada suatu saat di mana kita memperoleh kata-kata tambahan yang mengudari (disambiguate) keambiguan itu. Contoh:
kutipan 3
(7) The horse raced past the barn fell.
Sebelum mendengar kata fell, kata raced diduga sebagai predikat the horse karena urutan NP-VP maka V merupakan predikat NP. Interpretasi pertama kita adalah bahwa kuda itu berlari melewati kandang. Namun, begitu mendengar verba fell jelaslah bahwa predikatnya bukan raced, tetapi fell. Dengan demikian kalimat tersebut tidak lagi ambigu setelah munculnya verba fell.
b. Keambiguan abadi (standing ambiguity), yaitu kalimat yang tetap ambigu walaupun telah sampai pada kata terakhir. Contoh:
kutipan 4
(8) The shooting of the hunter was terrible.
(9) Old men and women went to town.
Pada kalimat-kalimat tersebut tetap ada dua tafsiran makna untuk masing-masing kalimat walaupun kalimat tersebut telah berakhir.
E.       Kegunaan Penelitian
Dari penelitian mini yang dilakukan ini, diharapkan diperoleh beberapa manfaat sebagai berikut:
1.         Memperoleh  gambaran atau deskripsi mengenai  fenomena keambiguan yang muncul pada siswa Taman Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta.
2.         Mengetahui jenis keambiguan yang paling sering muncul dalam percakapan pada siswa Taman Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta.
3.         Mengetahui upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi keambiguan yang terjadi.




BAB II
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yang bertujuan keambiguan yang muncul pada siswa Taman Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta, mendeskripsikan jenis keambiguan yang paling sering muncul pada siswa Taman Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta, dan mendeskripsikan upaya untuk mengantisipasi keambiguan yang terjadi. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik rekam, simak, dan catat. Teknik penganalisaan data menggunakan kartu data. Sumber data dalam penelitian ini adalah rekaman anak TK Dukuh I Sleman, Yogyakarta, sedangkan data yang diambil berupa transkrip tuturan anak dan guru TK Dukuh I Sleman, Yogyakarta.
Penelitian ini mengambil subjek penelitian tiga siswa Taman Kanak-kanak ABA Dukuh I kelas B1. Pemilihan kelas ini didasarkan pada umur siswa yang berada pada rentang usia 5-6 tahun. Tiga siswa ini terdiri dari dua siswa perempuan dan satu siswa laki-laki. Ketiga siswa ini merupakan siswa dengan bahasa ibu bahasa Jawa.
Pengumpulan data dilakukan mengguakan cara cross-sectional. Cara ini dipilih karena digunakan hanya dalam suatu waktu tertentu. Artinya, waktu yang dibutuhkan untuk mengamati subjek penelitian tidak memakan waktu yang relatif lama. Hal ini dikarenakan keterbatasan peneliti. Topik yang digunakan juga bukan topik yang menyangkut perkembangan, tetapi hanya sesaat, yakni ujaran anak usia 5-6 tahun.
Penelitian ini menggunakan teknik pemodelan, yakni guru memberikan cerita/dongeng kepada siswa. Pengambilan data menggunakan teknik cerita dan rekaman. Anak diminta untuk menceritakan kembali cerita/dongeng yang disampaikan guru menggunakan bahasanya sendiri.
Aspek yang dianalisis dalam penelitian ini adalah keambiguan dari bahasa yang digunakan oleh anak. Anak melakukan cerita dengan kalimat bahasanya sendiri menjadi dasar pengamatan mengenai keambiguan bahasa anak.. Hasil analisis ini nantinya akan dikembalikan kepada teori yang sudah ada agar analisis yang dilakukan ini dapat menjadi sebuah eksplanasi yang kuat.

BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Hasil analisis keambiguan yang ditemukan pada ujaran anak 1 (perempuan) dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1
No
Tingkat Fonetik
Tingkat Leksikal
Tingkat Gramatikal
Keambiguan Sementara
Keambiguan Abadi
A1

Hitam, / Coklat, / Abu-abu.//
Hitam / berjalan kaki sambil bernyanyi-nyanyi.//
Ada keluarga kelinci/yang bernama Hitam, / Coklat, / Abu-abu.//
A2


Hitam bertemu si Kiki.//
Si Hitam minta pamit / kepada Ibunya.//
A3


Daun ditarik sampai di rumahnya.//
Tikus dinaikkan di atas daun.//
A4



Sudah sampai di rumahnya.//
Pada ujaran anak pertama, jenis keambiguan yang paling banyak ditemukan adalah keambiguan tingkat gramatikal. Keambiguan jenis ini ditemukan sebanyak 7 item atau 87% dari jumlah keambiguan yang ditemukan, dengan rincian keambiguan sementara sebanyak 3 item (37%) dan keambiguan abadi sebanyak 4 item (50%).
Keambiguan lain yang ditemukan adalah keambiguan tingkat leksikal. Keambiguan tingkat leksikal hanya ditemukan sebanyak 1 item atau sekitar 13% dari total keambiguan yang ditemukan. Keambiguan tingkat fonetik tidak ditemukan pada ujaran anak pertama. Secara keseluruhan jumlah keambiguan yang ditemukan pada ujaran anak pertama sebanyak 8 item.
Hasil analisis keambiguan yang ditemukan pada ujaran anak 2 (perempuan) dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2
No
Tingkat Fonetik
Tingkat Leksikal
Tingkat Gramatikal
Keambiguan Sementara
Keambiguan Abadi
B1
Dia gak ja /t/ i ke rumah Kiki.//
Kelinci Hitam ijin sama Ibuknya
Si Hitam cerita sama Ibunya.//
Kelinci Hitam ijin sama Ibuknya
B2

batu didorong sama Kiki sama Hitam.//

di jalan sambil nyanyi-nyanyi ketemu Kiki.//
B3

Cicit tidak bisa / jalan / kakinya sakit.//

Dengar suara citcicitcitcit.//
B4



Dinaikkan di daun.//
B5



Ditarik / sampai rumah
B6



Dia gak jadi ke rumah Kiki.//
Jumlah keambiguan yang ditemukan pada ujaran anak kedua sebanyak 11 item. Jenis keambiguan yang paling banyak ditemukan pada ujaran anak kedua adalah kemabiguan tingkat gramatikal. Keambiguan tingkat gramatikal ditemukan sebanyak 7 item atau hampir 64% dati total keambiguan yang ditemukan. Rinciannya keambiguan sementara ditemukan 1 item (9%) dan keambiguan abadi sebanyak 6 item (54%).
Kemabiguan tingkat leksikal ditemukan sebanyak 3 item atau sekitar 27% dari total keambiguan yang ditemukan. Kemabiguan tingkat fonetik juga ditemukan pada ujaran anak kedua sebanyak 1 item (sekitar 9%).
Hasil analisis keambiguan yang ditemukan pada ujaran anak 3 (laki-laki) dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3
No
Tingkat Fonetik
Tingkat Leksikal
Tingkat Gramatikal
Keambiguan Sementara
Keambiguan Abadi
C1

Hitam,/ Coklat,/ Abu-abu.//
Si Hitam / pamitan sama induknya pengen ke rumahnya Kiki.//

Keluarga kelinci ada yang namanya Hitam,/ Coklat,/ Abu-abu.//
C2

pamitan sama induknya
Hitam sama Kiki /./ pengen ke rumahnya Kiki.//
Cuma tikus biasa (terje) kejepit di tempat batu.//
C3

Hitam sama Kiki /./ pengen ke rumahnya Kiki.//
Hitam sama Kiki mendengar suara Cicit.//
Mengambil daun / tikus.//

C4

Kiki sama Hitam /./ berjalan bersama sambil bernyanyi.//
Hitam sama Kiki mendorong batu.//
Induknya/ Cicit gak bisa berjalan.//
C5

Hitam sama Kiki mendengar suara Cicit.//
Hitam / tidak jadi ke rumahnya Kiki.//
Hitam sama Kiki berpulang sendiri-sendiri.//
C6

Kiki sama Hitam menggeretnya
Hitam bercerita sama Induknya.//

C7

Kiki sama Hitam menggeretnya.//


C8

Hitam bercerita sama Induknya.//


Keambiguan pada ujaran anak ketiga paling banyak ditemukan di antara ujaran anak yang lain. Ditemukan sebanyak 19 keambiguan pada ujaran anak ketiga. Keambiguan tingkat gramatikal masih paling banyak ditemukan di antara jenis yang lain. Pada keambiguan tingkat gramatikal ditemukan sebanyak 11 item atau sekitar 58% dari total keambiguan yang ditemukan. Rinciannya keambiguan sementara sebanyak 6 item (32%) dan keambiguan abadi sebanyak 5 item (26%).
Jenis kembiguan lain yang ditemukan adalah kemambiguan tingkat leksikal. Keambiguan tingkat leksikal ditemukan cukup banyak yakni 8 item atau sekitar 42% dari total keambiguan yang ditemukan. Keambiguan tingkat fonetik tidak ditemukan pada ujaran anak ketiga.
Dari keseluruhan ujaran anak, ditemukan keambiguan sebanyak 38 item. Keambiguan tingkat fonetik merupakan keambiguan yang paling sedikit ditemukan. Hanya ditemukan 1 item atau hanya 3% dari total keambiguan yang ditemukan. Selanjutnya, keambiguan tingkat leksikal ditemukan sebanyak 12 item (31%). Paling banyak ditemukan adalah jenis keambiguan gramatikal. Keambiguan tingkat gramatikal ditemukan sebanyak 25 item (66%) dengan rincian keambiguan sementara 10 item (26%) dan keambiguan abadi 15 item (40%).



BAB IV
PEMBAHASAN
Keambiguan Tingkat Fonetik
Keambiguan tingkat fonetik timbul akibat membaurnya bunyi-bunyi bahasa yang diujarkan. Keambiguan ini berhubungan dengan keraguan kita terhadap bunyi bahasa yang kita dengar. Kadang-kadang karena ragu-ragu, kita mengambil keputusan yang keliru.
Pateda (dalam Triany, 2008) mengungkapkan bahwa penyebab keambiguan ini terkadang adalah kata-kata yang membentuk kalimat diujarkan terlalu cepat sehingga pendengar menjadi ragu akan makna kalimat yang diujarkan. Namun pada penelitian ini ditemukan penyebab keambiguan adalah ketidakfasihan anak mengujarkan kalimat bukan kaena terlalu cepat berbicara. Hal tersebut tampak pada keambiguan yang ditemukan pada ujaran anak berikut.
(B1) Dia gak ja /t/ i ke rumah Kiki.//
Dari ujaran di atas dapat dilihat bahwa anak belum fasih benar (sempurna) mengujarkan fonem /d/ akibatnya dia mengujarkan fonem bunyi yang berdekatan yakni /t/. Pengujaran yang belum sempurna tersebut menyebabkan keambiguan pada pendengarnya. Pendengar harus memastikan kata apa yang sebenarnya yang ingin dimaksudkan oleh pengujar bila salah tentu pendengar harus memproses ulang interpretasinya.pada ujaran di atas anak sebenarnya ingin mengujarkan jadi bukan pohon jati.
Keambiguan tingkat fonetik tidak banyak ditemukan, bahkan hanya ditemukan satu, pada ujaran anak. Hal ini disebabkan karena ujaran anak TK tidak cepat sehingga pendengar mempunyai waktu yang lebih lama untuk memproses interpretasinya. Selain itu juga karena anak TK sudah mulai sempurna mengujarkan bahasa layaknya orang dewasa, walaupun ada juga yang masih didapati kerancuan.
Keambiguan Tingkat Leksikal
Keambiguan tingkat leksikal disebabkan karena bentuk leksikal yang dipakai. Cerminan keambiguan pada tingkat leksikal terdapat pada contoh berikut.
Kutipan 5
(A1) Hitam, / Coklat, / Abu-abu.//
(B3) Cicit tidak bisa / jalan / kakinya sakit.//
Pada kalimat A1 kita akan mengira bahwa bahwa nama-nama tersebut adalah nama warna. Bisa jadi itu adalah warna-warna dari anggota keluarga kelinci. Akan tetapi setelah dilihat konteks ujarannya secara utuh barulah diketahui bahwa ternyata nama-nama itu adalah nama anggota keluarga kelinci. Begitu pula dengan kalimat B3, Cicit pada ujaran sebelumnya disebutkan sebagai suara dari tikus yang terjepit sehingga pendengar akan terganggu proses pemahamannya. Ditambah lagi pendengar harus menerka Cicit nama orang atau yang lain. Namun setelah pendengar mengulang kembali konteks secara keseluruhan barulah didapat pemahaman bahwa Cicit adalah sebutan pengujarnya untuk tikus.
Kutipan 6
 (C2) pamitan sama induknya
(C3) Hitam sama Kiki /./ pengen ke rumahnya Kiki.//
(C8) Hitam bercerita sama Induknya.//
(B2) batu didorong sama Kiki sama Hitam.//
Pada kalimat C2, ujaran anak membuat keambiguan bagi pendengarnya. Apabila pendengar menafsirkan “sama” dengan makna leksikal yang sebenarnya, kalimat tidak bisa bermakna. Oleh karena itu pendengar harus mudur lagi dan memproses ulang interpretasi dia supaya kalimatnya bisa dipahami. Barulah ditemukan bahwa anak bermaksud mengujarkan “dengan” bukan “sama”.
Kasus yang mirip terjadi pada kalimat C3. Pendengar tidak akan bisa menafsirkan makna kalimat tersebut apabila kata sama diterjemahkan sesuai makna leksikal. Pada ujaran tersebut pendengar harus menafsirkan kata “sama” menjadi “dan”.  Begitu pula pada kalimat C8, anak sebenarnya ingin mengujarkan “dengan”.
Pada contoh B2 anak mengujarkan dua kata sama. Namun seperti sebelumnya pendengar tidak akan memaknai ujaran tersebut apabila menafsirkannya sesuai dengan makna leksikal. Menariknya dua kata “sama” dalam ujaran tersebut memiliki makna yang berbeda. Pertama bermakna oleh dan yang lain bermakna dan. Kira-kira maksud dari ujaran anak tersebut adalah “batu didorong oleh Kiki dan Hitam”.
Dari berbagai temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa anak belum dapat membedakan fungsi penggunaan kata “sama” dengan “dan”, “oleh”, dan “dengan” terutama pada anak ketiga. Kebelumtahuan anak tersebut membuat beberapa ujaran anak menjadi ambigu sehingga mengganggu proses pemahaman pendengarnya. Pendengar dapat mmengantisipasi hal tersebut dengan memperhatikan konteks yang ada.
Keambiguan Tingkat Gramatikal
Bentuk struktur kalimat yang dipakai bisa menyebabkan keambiguan. Dalam bahasa Indonesia kita temui bahwa dua bila nomina berjejeran sebagai frasa, maka nomina kedua dapat menerangkan nomina pertama atau nomina kedua merupakan objek dari nomina pertama. Hal tersebut tidak jarang menyebabkan keambiguan pada kalimat yang diujarkan. Dardjowidjojo (2012:77) membagi keambiguan tingkat gramatikal menjadi dua, yakni keambiguan sementara dan keambiguan abadi. Pembahasan keambiguan tingkat gramatikal juga akan dibagi berdasarkan pembagian tersebut.
Pada keambiguan sementara, fungsi sintaktik suatu bentuk leksikal berstatus ambigu sampai pada suatu saat dimana kita memperoleh kata-kata tambahan yang mengudari keambiguan tersebut (Dardjowidjojo, 2012:77). Perhatikan contoh yang ditemukan pada ujaran anak berikut.
Kutipan 7
(A1) Hitam / berjalan kaki sambil bernyanyi-nyanyi.//
(B1) Si Hitam cerita sama Ibunya.//
(C5) Hitam / tidak jadi ke rumahnya Kiki.//
Keambiguan yang dtemukan pada ujaran ketiga anak mempunyai kemiripan. Kalimat A1, B1, dan C5 mempunyai keambiguan yang mirip. Ketika pertama mendengar ujaran tersebut, pendengar bisa saja mengintepretasikan hitam sebagai warna. Namun ketika kata selanjutnya diujarkan ternyata interpretasinya salah sehingga dia harus mundur lagi untuk memproses ulang interpretasinya. Penginterpretasian kalimat A1 dan C5 lebih sulit karena setelah kata pertama disertai jeda. Berbeda pada penginterpretasian kalimat kedua, sebelum kata hitam ada preposisi si dan setelahnya tidak disertai jeda sehingga penginterpretasian menjadi lebih mudah.
Keambiguan abadi terjadi ketika kalimat yang sudah sampai pada kata terakhir tetap masih ambigu (Dardjowidjojo, 2012:77). Kata-kata dengan keambiguan jenis ini tetap mempunyai dua tafsiran makna atau lebih walaupun kalimat tersebut sudah berakhir. Keambiguan jenis ini merupakan jenis keambiguan yang paling banyak ditemukan pada ujaran anak. Perhatikan contoh berikut.
Kutipan 8
(A1) Ada keluarga kelinci/yang bernama Hitam, / Coklat, / Abu-abu.//
Kalimat tersebut ambigu karena memiliki dua tafsiran makna. Supaya lebih jelas, perhatikan diagram pohon berikut.
Diagram pohon 1
FN                                          

FN       Konj    FN
 


V         FN                               V         N         N         N
 


N         N

Ada keluarga kelinci yang bernama Hitam, Coklat, Abu-abu.
Tafsiran makna pertama.
Diagram pohon 2
FN

FN       Pron     FN
 


V         FN                               V         N         N         N
 


N         N

Ada keluarga kelinci yang bernama Hitam, Coklat, Abu-abu.
Tafsiran makna kedua.
Dari kedua diagram pohon di atas terlihat jelas keambiguan yang terjadi pada frasa (A1). Tafsiran makna pertama (pada diagram pohon pertama) adalah yang bernama hitam, coklat dan abu-abu adalah anggota keluarga kelinci. Dengan kata lain keluarga kelinci mempunyai anggota keluarga yang bernama hitam, coklat dan abu-abu. Tafsiran makna kedua (pada diagram pohon kedua) adalah ada keluarga kelinci yang bernama keluarga hitam, keluarga coklat, dan keluarga abu-abu. Setelah melihat secara keseluruhan ujaran anak cenderun pada tafsiran makna yang kedua.
Contoh lain terlihat pada ujaran anak kedua berikut.
Kutipan 9
(B2) di jalan sambil nyanyi-nyanyi ketemu Kiki.//
Diagram pohon 3
FV

FN                               FV                       FV

Prep     N         Adv          V                V         N

di         jalan sambil nyanyi-nyanyi ketemu Kiki.
Tafsiran makna pertama
Diagram pohon 4
]FV

FN                               FV                      

Prep     N         Adv          V                V         N

di         jalan sambil nyanyi-nyanyi ketemu Kiki.
Tafsiran makna kedua
Frasa B2 di atas merupakan frasa yang ambigu karena dapat ditafsirkan berbeda. Pada diagram pohon pertama, frasa tersebut ditafsirkan ketika di jalan sambil nyanyi-nyanyi tiba-tiba bertemu Kiki. Berbeda pada diagram pohon yang kedua, frasa tersebut ditafsirkan di jalan sambil bernyanyi-nyanyi lagu yang berjudul ketemu Kiki. Ujaran tersebut akan membuat pendengar berpikir ulang apakah interpretasinya sudah benar atau belum. Apabila belum benar, pendengar harus kembali ke awal untuk memproses ulang interpretasinya. Pada frasa di atas, maksud yang diinginkan oleh anak adalah cenderung pada tafsiran makna pertama.
Keambiguan jenis ini kadang terjadi karena ada bagian ujaran yang hilang, atau ujaran tidak lengkap, seperti yang terlihat pada ujaran yang ditemukan berikut.
Kutipan 10
(C3) Mengambil daun / tikus.//
Diagram pohon 5
FV

      V               FN

N    N

Mengambil daun tikus
Diagram pohon 6
FV

      V              

N    N

Mengambil daun tikus
Ujaran yang diinterpretasikan seperti pada kedua diagram pohon tersebut tetap menimbulkan keambiguan. Hal tersebut terjadi karena ada bagian dari ujaran yang hilang sehingga membuat ujaran tetap ambigu. Supaya frasa tersebut tidak ambigu dan dapat dimaknai, frasa tersebut dapat diperbaiki seperti yang tampak pada diagram pohon berikut.




Diagram pohon 7
FV

      V               FN

N    Prep  N    

Mengambil daun untuk tikus
Mengatasi Keambiguan
Begitu banyak keambiguan yang ditemukan pada ujaran anak TK. Hal ini tentu menghambat pemahaman bagi pendengarnya. Pendengar harus lebih berhati-ati menginterpretasikan ujaran anak kalau tidak mau kembali ke awal untuk memproses ulang interpretasinya. Keambiguan-keambiguan sebenarnya dapat dihindari melalui berbagai upaya. Berikut upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari keambiguan berdasarkan hasil pembahasan di atas.
1.                  Pendengar harus memperhatikan konteks. Dalam berbagai macam keambiguan mana pun, yang memegang peranan sangat penting adalah konteks. Dari konteks itulah kita dapat menentukan makna yang dimaksud (Dardjowodjojo, 2005: 78; Chaer, 2003: 288) sehingga keambiguan dapat dihilangkan. Pada ujaran (B3) “Dengar suara citcicitcitcit.” terjadi kekuranglengkapan ujaran, yakni tidak adanya Subjek. Untuk dapat menemukan Subjek, kita harus memahami konteks yang terjadi. Setelah memperhatikan konteks didapati maksud dari pengujar adalah Kelinci Hitam dan Kiki mendengar suara citcitcitcit. Hal tersebut sepenuhnya wajar terjadi pada anak TK karena berkaitan dengan skematanya. Menurut Taylor (1990:54) skemata disimpan manusia dalam bentuk kelancaran kata-katanya. Sekemata anak-anak belum sesempurna manusia dewasa sehingga wajar apabila kata-kata yang diujarkan anak kurang sempurna juga. Hal tersebut dapat menimbulkan keambiguan pada produksi ujarannya.
2.                  Pemberian penanda batas leksikal dapat pula menghindarkan keambiguan. Hal tersebut tampak pada frasa (B2) ”di jalan sambil nyanyi-nyanyi ketemu Kiki.” Frasa tersebut tidak akan ambigu bila diberi penanda batas leksikal “di jalan sambil nyanyi-nyanyi kemudian ketemu Kiki.”
3.                  Pemberian atau penghilangan penanda batas jeda. Pemberian jeda pada ujaran biasanya akan menghilangkan keambiguan namun bisa juga malah menimbulkan keambiguan, seperti yang terlihat pada kalimat B(5) “Ditarik / sampai rumah.” Seharusnya jeda di tengah-tengah kalimat tesebut dihilangkan supaya pendengar lebih mudah memahami ujaran.
4.                  Pemberian penanda batas tanda baca. Pemberian penanda batas tanda baca dapat menghilangkan keambiguan, seperti yang terlihat pada frasa (B2)di jalan sambil nyanyi-nyanyi ketemu Kiki.” Supaya lebih mudah dipahami frasa tersebut dapat diubah menjadi “di jalan sambil nyanyi-nyanyi, ketemu Kiki”.



BAB V
PENUTUP
Keambiguan dapat terjadi pada tingkat fonetik, tingkat leksikal, dan tingkat gramatikal. Keambiguan yang paling banyak ditemukan pada ujaran anak adalah pada tingkat gramatikal sebanyak 66% dari jumlah keambiguan yang ditemukan. Selanjutnya adalah keambiguan tingkat leksikal sebanyak 31%.
Keambiguan yang paling sedikit ditemukan pada tingkat fonetik hanya sebanyak 3%. Hal ini disebabkan karena ujaran anak TK tidak cepat sehingga pendengar mempunyai waktu yang lebih lama untuk memproses interpretasinya. Selain itu juga karena anak TK sudah mulai sempurna mengujarkan bahasa layaknya orang dewasa, walaupun ada juga yang masih didapati kerancuan.
Keambiguan-keambiguan tersebut dapat dihindari dengan cara memperhatikan konteksnya, pemberian penanda batas leksikal, pemberian penanda batas jeda, dan pemberian penanda batas tanda baca.
Daftar Rujukan
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2012. Psikolinguistik. Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Harras, K.A. dan Andika D.B. 2009. Dasar-Dasar Psikolinguistik. Bandung: UPI Press.
Taylor, Insup. 1990. Psycholinguistics. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Yulianty K., Tri. 2008. Ambiguitas dalam Psikolinguistik. Jatinangor: Universitas Padjadjaran.



[1] Agus Purnomo Ahmad Putikadyanto adalah mahasiswa pascasarjana program studi pendidikan bahasa,  Indonesia, Universitas Negeri Malang
[2] A. Syukur Ghazali adalah Dosen Pascasarjana Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang.
[3] Nita Widiawati adalah Dosen Pascasarjana Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar