KEAMBIGUAN
PADA UJARAN ANAK USIA TAMAN KANAK-KANAK
Agus Purnomo Ahmad Putikadyanto[1]
A. Syukur Ghazali[2]
Nita Widiawati[3]
Universitas Negeri
Malang, Jalan Semarang 5 Malang 65145
Email: aguspurnomo.ap2@gmail.com
ABSTRAK: Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan
keambiguan yang muncul pada siswa Taman Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta,
mendeskripsikan jenis keambiguan yang paling sering muncul pada siswa Taman
Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta, dan mendeskripsikan upaya untuk
mengantisipasi keambiguan yang terjadi. Hasil penelitian ini adalah Keambiguan
yang paling banyak ditemukan pada ujaran anak adalah pada tingkat gramatikal
sebanyak 66%. Selanjutnya adalah keambiguan tingkat leksikal sebanyak 31%. Keambiguan
yang paling sedikit ditemukan pada tingkat fonetik hanya sebanyak 3%. Hal ini
disebabkan karena ujaran anak TK tidak cepat sehingga pendengar mempunyai waktu
yang lebih lama untuk memproses interpretasinya. Selain itu juga karena anak TK
sudah mulai sempurna mengujarkan bahasa layaknya orang dewasa, walaupun ada
juga yang masih didapati kerancuan. Keambiguan-keambiguan tersebut dapat
dihindari dengan cara memperhatikan konteksnya, pemberian penanda batas
leksikal, pemberian penanda batas jeda, dan pemberian penanda batas tanda baca.
Kata kunci:
Keambiguan, anak, usia taman kanak-kanak
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam penggunaan
bahasa sering dijumpai penggunaan kalimat‑kalimat yang ambigu. Keambiguan atau ketaksaan makna
adalah gejala dapat terjadinya tafsiran lebih dari satu makna. Hal ini dapat
terjadi baik dalam ujaran lisan maupun tulisan. Tafsiran lebih dari satu ini
dapat menimbulkan keraguan dan kebingungan dalam mengambil keputusan tentang
makna yang dimaksud. Kalimat ambigu tidak harus dihindari karena kalimat ambigu
pada saat tertentu harus digunakan.
Dari segi
pemrosesan untuk pemahaman, kalimat ambigu memerlukan waktu yang lebih lama
untuk diproses (Dardjowidjojo, 2012:76). Hal ini terjadi karena pendengar
menerka makna tertentu tetapi ternyata terkaan dia salah sehingga dia harus
mundur lagi untuk memproses ulang seluruh interpretasi dia. Berbagai penelitian
telah dilakukan antara lain oleh MacKay (1966), Foss (1970), dan Garret (1970) (dalam
Yulianty 2008) yang membuktikan bahwa keambiguan berpengaruh terhadap
pemahaman. Melalui analisis Reaction Times (RT) terhadap kalimat ambigu
didapati hasil bahwa kalimat ambigu memperlambat proses pemahaman dibandingkan
dengan kalimat yang tidak ambigu. Ullmann (dalam Triany, 2008) ) membagi keambiguan
menjadi tiga tipe utama, yaitu keambiguan tingkat fonetik, tingkat leksikal,
dan tingkat gramatikal.
Pada dasarnya kemampuan
anak mengeksplorasi keterampilan bahasanya berkaitan dengan komprehensi dan produksi
mereka. Produksi dan komprehensi merupakan dua tingkat kemampuan bahasa yang
saling berhubungan. Komprehensi lebih dahulu muncul sebelum produksi.
Dardjowidjojo (2012: 243) memaparkan bahwa komprehensi adalah kemampuan
seseorang untuk memahami dan mengerti apa yang dikatakan orang lain, sedangkan
produksi adalah kemampuan seseorang untuk memproduksi atau menggunakan kosakata
secara aktif. Bukti keterkaitan tersebut juga disampaikan Taylor (1990:54) bahwa
skemata (pengalaman) disimpan manusia dalam bentuk kelancaran kata-katanya.
Taylor mengilustrasikannya dengan bukti pemahaman dan
ingatan jangka pendek dapat dilihat dari kelancarannya. Partisipan satu
berbicara tepat jika pendengar memahami dan mengingat, setidaknya sebagian,
ujaran pembicara yang lain
Pada
komprehensi, informasi dari luar diterima kemudian disimpan dalam memori. Kata
yang sudah tersimpan dicari kemudian untuk diujarkan dalam bentuk kata atau
susunan kalimat (produksi). Anak dapat memproduksi karena adanya komprehensi
sehingga anak tinggal meretrival kata yang hendak diujarkan.
Kemampuan anak
memproduksi kata dipengaruhi oleh usia. Produksi kata anak-anak belum sebaik orang
dewasa sehingga wajar kalau banyak ditemukan kekeliruan. Bentuk kekeliruan
produksi bahasa anak dapat mengakibatkan keambiguan. Ujaran yang terdapat
keambiguan menyebabkan kendala bagi proses pemahaman pendengarnya. Guru harus
menyikapi keambiguan ujaran anak tersebut dengan tepat. Menurut Taylor
(1990:54) input yang didapat (didengar atau dibaca) akan membangkitkan skemata.
Oleh karena itu guru seharusnya terus tanpa lelah memberikan input yang benar
kepada siswa supaya dapat membangkitkan dan membuat skemata anak TK.
Ada dugaan bahwa
anak usia taman kanak-kanak memproduksi lebih banyak keambiguan karena masih
dalam tahap awal pemerolehan bahasa. Oleh karena itu menarik apabila dilakukan
penelitian tentang keambiguan ujaran anak yang muncul dengan harapan ditemukan
upaya untuk mengantisipasi keambiguan tersebut. Penelitian ini dilakukan
dengan subjek penelitian tiga siswa Taman Kanak-Kanak Dukuh I kelas B1 Sleman,
Yogyakarta. Pemilihan kelas ini didasarkan pada umur siswa yang berada pada
usia 5-6 tahun yang masih berada pada tahap awal pemerolehan bahasa.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja jenis
keambiguan yang muncul pada siswa Taman Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta?
2.
Apa jenis
keambiguan yang paling sering muncul pada siswa Taman Kanak-Kanak Dukuh I
Sleman, Yogyakarta?
3.
Bagaimana upaya
untuk mengantisipasi keambiguan yang terjadi?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Mendeskripsikan keambiguan
yang muncul pada siswa Taman Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta.
2.
Mendeskripsikan
jenis keambiguan yang paling sering muncul pada siswa Taman
Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta.
3.
Mendeskripsikan
upaya untuk mengantisipasi keambiguan yang terjadi.
D.
Landasan Teori
Pada dasarnya
terdapat dua teori keambiguan, yaitu teori garden path dan teori many
meanings (Sumadi dalam Harras, 2009:108). Teori garden path menyatakan
bahwa manusia tidak menganggap suatu kalimat sebagai ambigu karena hanya ada
satu penafsiran terhadapnya. Sedangkan teori meanings menyatakan bahwa
pendengar membuat dua atau lebih tafsiran yang berbeda untuk setiap kalimat
ambigu dan segera memutuskannya mana yang benar berdasarkan konteks. Di samping
itu, ada teori no meaning yang menyatakan bahwa pendengar mula‑mula
tidak memberikan tafsiran apa‑apa terhadap kalimat, tetapi menunggu sampai
konteks menentukan sendiri tafsiran makna yang tepat.
Kedua teori
tersebut, yaitu teori garden path dan teori many meanings selanjutnya
bergabung menjadi teori mixed. Teori ini menyatakan ketika pendengar
menjumpai konstruksi yang ambigu, mereka memberikan penafsiran ganda. Dengan
bantuan konteks, mereka memilih tafsiran yang paling tepat, kalau keambiguan
belum juga terpecahkan, mereka memilih untuk berpedoman pada satu tafsiran
saja, dan jika konteks yang lebih luas menolak tafsiran yang telah dipilih,
mereka melihat kembali struktur lahirnya dan memberikan tafsiran baru. yang
lebih sesuai.
Macam
Keambiguan
Ullmann (dalam
Triany, 2008) ) membagi keambiguan menjadi tiga tipe utama, yaitu keambiguan
tingkat fonetik, tingkat leksikal, dan tingkat gramatikal.
1. Keambiguan tingkat fonetik
Keambiguan
tingkat fonetik timbul akibat membaurnya bunyi-bunyi bahasa yang diujarkan,
kadang karena kata-kata yang membentuk kalimat diujarkan terlalu cepat sehingga
orang menjadi ragu akan makna kalimat yang diujarkan (Pateda dalam Triany, 2008),
seperti tampak pada contoh dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris berikut:
Kutipan 1
(1) beruang /beruaN/ à ‘mempunyai uang’ atau ‘nama binatang’
(2) /bukanaNka/ à bukan angka, buka nangka, bukan nangka
(3) a near ’ginjal’ – an ear ‘telinga’
Keambiguan ini
berhubungan dengan keraguan kita terhadap bunyi bahasa yang kita dengar.
Kadang-kadang karena ragu-ragu, kita mengambil keputusan yang keliru.
2. Keambiguan tingkat leksikal
Keambiguan
tingkat leksikal adalah macam keambiguan yang disebabkan oleh bentuk leksikal
yang dipakai (Dardjowidjojo, 2012: 76). Hal ini berkaitan dengan makna yang
dikandung setiap kata yang dapat memiliki lebih dari satu makna atau mengacu
pada sesuatu yang berbeda sesuai lingkungan pemakaiannya, sebagaimana tampak
pada contoh-contoh berikut:
Kutipan 2
(4) Ini bukunya.
(5) Masing-masing mendapat satu kursi.
(6) He was shot near the bank.
Pada (4) kata buku
dapat mengandung makna lebih dari satu, sehingga pada kalimat tersebut
tidak jelas yang manakah makna buku dimaksud. Begitu pula halnya pada
(5) dan (6), kata kursi dan bank dapat mengandung lebih dari satu
makna dan pada kedua kalimat tersebut tidak ada kejelasan makna apa yang
dimaksud.
3. Keambiguan tingkat Gramatikal
Keambiguan
gramatikal adalah keambiguan yang penyebabnya adalah bentuk struktur yang
dipakai (Dardjowidjojo , 2012:77). Namun pendapat lain mengatakan keambiguan
ini muncul pada tataran morfologi dan sintaksis (Djajasudarma dalam Triany,
2008). Pada tataran morfologi keambiguan muncul dalam pembentukan kata secara
gramatikal, misalnya kata Pemukul (peN + pukul) yang bermakna
ganda ‘orang yang memukul’ atau ‘alat untuk memukul’. Pada tataran sintaksis keambiguan
muncul pada frasa, klausa, dan kalimat. Tiap kata yang membentuk frasa atau
kalimat itu telah jelas, tetapi dalam pengombinasiannya dapat memiliki tafsiran
lebih dari satu pengertian. Frasa orang tua dapat bermakna ‘orang yang
tua’ atau ‘ibu-bapak’. Dalam kalimat I met a number of old friends and
acquitances apakah kata old hanya mengacu pada friends ataukah
pada friends dan acqutances, hal ini merupakan suatu tafsiran
ganda.
Gleason dan
Ratner (dalam Dardjowidjojo, 2012: 77) membagi keambiguan gramatikal menjadi
dua macam, yaitu:
a. Keambiguan
sementara (local ambiguity), yaitu fungsi sintaktik suatu bentuk
leksikal berstatus ambigu sampai pada suatu saat di mana kita memperoleh
kata-kata tambahan yang mengudari (disambiguate) keambiguan itu. Contoh:
kutipan 3
(7) The horse raced past the barn fell.
Sebelum
mendengar kata fell, kata raced diduga sebagai predikat the
horse karena urutan NP-VP maka V merupakan predikat NP.
Interpretasi pertama kita adalah bahwa kuda itu berlari melewati kandang.
Namun, begitu mendengar verba fell jelaslah bahwa predikatnya bukan raced,
tetapi fell. Dengan demikian kalimat tersebut tidak lagi ambigu setelah
munculnya verba fell.
b. Keambiguan abadi (standing
ambiguity), yaitu kalimat yang tetap ambigu walaupun telah sampai pada kata
terakhir. Contoh:
kutipan 4
(8) The shooting of the hunter was terrible.
(9) Old men and women went to town.
Pada
kalimat-kalimat tersebut tetap ada dua tafsiran makna untuk masing-masing
kalimat walaupun kalimat tersebut telah berakhir.
E.
Kegunaan Penelitian
Dari penelitian
mini yang dilakukan ini, diharapkan diperoleh beberapa manfaat sebagai berikut:
1.
Memperoleh gambaran atau deskripsi mengenai fenomena keambiguan yang muncul pada siswa Taman
Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta.
2.
Mengetahui jenis
keambiguan yang paling sering muncul dalam percakapan pada siswa Taman
Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta.
3.
Mengetahui upaya
apa yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi keambiguan yang terjadi.
BAB II
METODE PENELITIAN
Metode
penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yang bertujuan keambiguan
yang muncul pada siswa Taman Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta,
mendeskripsikan jenis keambiguan yang paling sering muncul pada siswa Taman
Kanak-Kanak Dukuh I Sleman, Yogyakarta, dan mendeskripsikan upaya untuk
mengantisipasi keambiguan yang terjadi. Teknik pengumpulan data menggunakan
teknik rekam, simak, dan catat. Teknik penganalisaan data menggunakan kartu
data. Sumber data dalam penelitian ini adalah rekaman anak TK Dukuh I Sleman,
Yogyakarta, sedangkan data yang diambil berupa transkrip tuturan anak dan guru
TK Dukuh I Sleman, Yogyakarta.
Penelitian ini mengambil subjek penelitian tiga
siswa Taman Kanak-kanak ABA Dukuh I kelas B1. Pemilihan kelas ini didasarkan
pada umur siswa yang berada pada rentang usia 5-6 tahun. Tiga siswa ini terdiri
dari dua siswa perempuan dan satu siswa laki-laki. Ketiga siswa ini merupakan
siswa dengan bahasa ibu bahasa Jawa.
Pengumpulan data
dilakukan mengguakan cara cross-sectional.
Cara ini dipilih karena digunakan hanya dalam suatu waktu tertentu. Artinya,
waktu yang dibutuhkan untuk mengamati subjek penelitian tidak memakan waktu
yang relatif lama. Hal ini dikarenakan keterbatasan peneliti. Topik yang
digunakan juga bukan topik yang menyangkut perkembangan, tetapi hanya sesaat,
yakni ujaran anak usia 5-6 tahun.
Penelitian ini
menggunakan teknik pemodelan, yakni guru memberikan cerita/dongeng kepada
siswa. Pengambilan data menggunakan teknik cerita dan rekaman. Anak diminta
untuk menceritakan kembali cerita/dongeng yang disampaikan guru menggunakan
bahasanya sendiri.
Aspek yang
dianalisis dalam penelitian ini adalah keambiguan dari bahasa yang digunakan
oleh anak. Anak melakukan cerita dengan kalimat bahasanya sendiri menjadi dasar
pengamatan mengenai keambiguan bahasa anak.. Hasil analisis ini nantinya akan
dikembalikan kepada teori yang sudah ada agar analisis yang dilakukan ini dapat
menjadi sebuah eksplanasi yang kuat.
BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Hasil analisis keambiguan
yang ditemukan pada ujaran anak 1 (perempuan) dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1
No
|
Tingkat Fonetik
|
Tingkat Leksikal
|
Tingkat Gramatikal
|
|
Keambiguan Sementara
|
Keambiguan Abadi
|
|||
A1
|
Hitam, / Coklat,
/ Abu-abu.//
|
Hitam / berjalan kaki sambil
bernyanyi-nyanyi.//
|
Ada keluarga kelinci/yang bernama
Hitam, / Coklat, / Abu-abu.//
|
|
A2
|
Hitam bertemu si Kiki.//
|
Si Hitam minta pamit / kepada
Ibunya.//
|
||
A3
|
Daun ditarik sampai di
rumahnya.//
|
Tikus dinaikkan di atas daun.//
|
||
A4
|
Sudah sampai di rumahnya.//
|
Pada ujaran anak
pertama, jenis keambiguan yang paling banyak ditemukan adalah keambiguan
tingkat gramatikal. Keambiguan jenis ini ditemukan sebanyak 7 item atau 87%
dari jumlah keambiguan yang ditemukan, dengan rincian keambiguan sementara
sebanyak 3 item (37%) dan keambiguan abadi sebanyak 4 item (50%).
Keambiguan lain
yang ditemukan adalah keambiguan tingkat leksikal. Keambiguan tingkat leksikal
hanya ditemukan sebanyak 1 item atau sekitar 13% dari total keambiguan yang ditemukan.
Keambiguan tingkat fonetik tidak ditemukan pada ujaran anak pertama. Secara
keseluruhan jumlah keambiguan yang ditemukan pada ujaran anak pertama sebanyak
8 item.
Hasil analisis keambiguan
yang ditemukan pada ujaran anak 2 (perempuan) dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2
No
|
Tingkat Fonetik
|
Tingkat Leksikal
|
Tingkat Gramatikal
|
|
Keambiguan Sementara
|
Keambiguan Abadi
|
|||
B1
|
Dia gak ja /t/ i ke rumah Kiki.//
|
Kelinci Hitam ijin sama Ibuknya
|
Si Hitam cerita sama Ibunya.//
|
Kelinci
Hitam ijin sama Ibuknya
|
B2
|
batu didorong sama Kiki sama Hitam.//
|
di jalan sambil nyanyi-nyanyi
ketemu Kiki.//
|
||
B3
|
Cicit tidak bisa / jalan / kakinya sakit.//
|
Dengar suara citcicitcitcit.//
|
||
B4
|
Dinaikkan di daun.//
|
|||
B5
|
Ditarik / sampai rumah
|
|||
B6
|
Dia gak jadi ke rumah Kiki.//
|
Jumlah
keambiguan yang ditemukan pada ujaran anak kedua sebanyak 11 item. Jenis
keambiguan yang paling banyak ditemukan pada ujaran anak kedua adalah
kemabiguan tingkat gramatikal. Keambiguan tingkat gramatikal ditemukan sebanyak
7 item atau hampir 64% dati total keambiguan yang ditemukan. Rinciannya keambiguan
sementara ditemukan 1 item (9%) dan keambiguan abadi sebanyak 6 item (54%).
Kemabiguan
tingkat leksikal ditemukan sebanyak 3 item atau sekitar 27% dari total
keambiguan yang ditemukan. Kemabiguan tingkat fonetik juga ditemukan pada
ujaran anak kedua sebanyak 1 item (sekitar 9%).
Hasil analisis keambiguan
yang ditemukan pada ujaran anak 3 (laki-laki) dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3
No
|
Tingkat
Fonetik
|
Tingkat
Leksikal
|
Tingkat
Gramatikal
|
|
Keambiguan
Sementara
|
Keambiguan
Abadi
|
|||
C1
|
Hitam,/ Coklat,/
Abu-abu.//
|
Si
Hitam / pamitan sama induknya pengen ke rumahnya Kiki.//
|
Keluarga
kelinci ada yang namanya Hitam,/ Coklat,/ Abu-abu.//
|
|
C2
|
pamitan
sama induknya
|
Hitam
sama Kiki /./ pengen ke rumahnya Kiki.//
|
Cuma
tikus biasa (terje) kejepit di tempat batu.//
|
|
C3
|
Hitam
sama Kiki /./ pengen ke rumahnya Kiki.//
|
Hitam
sama Kiki mendengar suara Cicit.//
|
Mengambil
daun / tikus.//
|
|
C4
|
Kiki
sama Hitam /./ berjalan bersama sambil
bernyanyi.//
|
Hitam
sama Kiki mendorong batu.//
|
Induknya/
Cicit gak bisa berjalan.//
|
|
C5
|
Hitam
sama Kiki mendengar suara Cicit.//
|
Hitam
/ tidak jadi ke rumahnya Kiki.//
|
Hitam
sama Kiki berpulang sendiri-sendiri.//
|
|
C6
|
Kiki
sama Hitam menggeretnya
|
Hitam
bercerita sama Induknya.//
|
||
C7
|
Kiki
sama Hitam menggeretnya.//
|
|||
C8
|
Hitam
bercerita sama Induknya.//
|
Keambiguan pada
ujaran anak ketiga paling banyak ditemukan di antara ujaran anak yang lain.
Ditemukan sebanyak 19 keambiguan pada ujaran anak ketiga. Keambiguan tingkat
gramatikal masih paling banyak ditemukan di antara jenis yang lain. Pada
keambiguan tingkat gramatikal ditemukan sebanyak 11 item atau sekitar 58% dari
total keambiguan yang ditemukan. Rinciannya keambiguan sementara sebanyak 6
item (32%) dan keambiguan abadi sebanyak 5 item (26%).
Jenis kembiguan
lain yang ditemukan adalah kemambiguan tingkat leksikal. Keambiguan tingkat
leksikal ditemukan cukup banyak yakni 8 item atau sekitar 42% dari total
keambiguan yang ditemukan. Keambiguan tingkat fonetik tidak ditemukan pada
ujaran anak ketiga.
Dari keseluruhan
ujaran anak, ditemukan keambiguan sebanyak 38 item. Keambiguan tingkat fonetik
merupakan keambiguan yang paling sedikit ditemukan. Hanya ditemukan 1 item atau
hanya 3% dari total keambiguan yang ditemukan. Selanjutnya, keambiguan tingkat
leksikal ditemukan sebanyak 12 item (31%). Paling banyak ditemukan adalah jenis
keambiguan gramatikal. Keambiguan tingkat gramatikal ditemukan sebanyak 25 item
(66%) dengan rincian keambiguan sementara 10 item (26%) dan keambiguan abadi 15
item (40%).
BAB IV
PEMBAHASAN
Keambiguan
Tingkat Fonetik
Keambiguan
tingkat fonetik timbul akibat membaurnya bunyi-bunyi bahasa yang diujarkan. Keambiguan
ini berhubungan dengan keraguan kita terhadap bunyi bahasa yang kita dengar.
Kadang-kadang karena ragu-ragu, kita mengambil keputusan yang keliru.
Pateda (dalam
Triany, 2008) mengungkapkan bahwa penyebab keambiguan ini terkadang adalah kata-kata yang
membentuk kalimat diujarkan terlalu cepat sehingga pendengar menjadi ragu akan
makna kalimat yang diujarkan. Namun pada penelitian ini ditemukan penyebab keambiguan
adalah ketidakfasihan anak mengujarkan kalimat bukan kaena terlalu cepat
berbicara. Hal tersebut tampak pada keambiguan yang ditemukan pada ujaran anak
berikut.
(B1) Dia gak ja
/t/ i ke rumah Kiki.//
Dari ujaran di
atas dapat dilihat bahwa anak belum fasih benar (sempurna) mengujarkan fonem /d/ akibatnya dia mengujarkan fonem bunyi
yang berdekatan yakni /t/. Pengujaran
yang belum sempurna tersebut menyebabkan keambiguan pada pendengarnya.
Pendengar harus memastikan kata apa yang sebenarnya yang ingin dimaksudkan oleh
pengujar bila salah tentu pendengar harus memproses ulang interpretasinya.pada
ujaran di atas anak sebenarnya ingin mengujarkan jadi bukan pohon jati.
Keambiguan
tingkat fonetik tidak banyak ditemukan, bahkan hanya ditemukan satu, pada
ujaran anak. Hal ini disebabkan karena ujaran anak TK tidak cepat sehingga pendengar
mempunyai waktu yang lebih lama untuk memproses interpretasinya. Selain itu
juga karena anak TK sudah mulai sempurna mengujarkan bahasa layaknya orang
dewasa, walaupun ada juga yang masih didapati kerancuan.
Keambiguan
Tingkat Leksikal
Keambiguan
tingkat leksikal disebabkan karena bentuk leksikal yang dipakai. Cerminan keambiguan
pada tingkat leksikal terdapat pada contoh berikut.
Kutipan 5
(A1) Hitam, / Coklat, / Abu-abu.//
(B3) Cicit tidak bisa / jalan / kakinya sakit.//
Pada kalimat A1
kita akan mengira bahwa bahwa nama-nama tersebut adalah nama warna. Bisa jadi
itu adalah warna-warna dari anggota keluarga kelinci. Akan tetapi setelah
dilihat konteks ujarannya secara utuh barulah diketahui bahwa ternyata
nama-nama itu adalah nama anggota keluarga kelinci. Begitu pula dengan kalimat
B3, Cicit pada ujaran sebelumnya disebutkan sebagai suara dari tikus yang
terjepit sehingga pendengar akan terganggu proses pemahamannya. Ditambah lagi
pendengar harus menerka Cicit nama orang atau yang lain. Namun setelah
pendengar mengulang kembali konteks secara keseluruhan barulah didapat
pemahaman bahwa Cicit adalah sebutan pengujarnya untuk tikus.
Kutipan 6
(C2)
pamitan sama induknya
(C3) Hitam sama Kiki
/./ pengen ke rumahnya Kiki.//
(C8) Hitam bercerita sama Induknya.//
(B2) batu
didorong sama Kiki sama Hitam.//
Pada kalimat C2,
ujaran anak membuat keambiguan bagi pendengarnya. Apabila pendengar menafsirkan
“sama” dengan makna leksikal yang
sebenarnya, kalimat tidak bisa bermakna. Oleh karena itu pendengar harus mudur
lagi dan memproses ulang interpretasi dia supaya kalimatnya bisa dipahami.
Barulah ditemukan bahwa anak bermaksud mengujarkan “dengan” bukan “sama”.
Kasus yang mirip
terjadi pada kalimat C3. Pendengar tidak akan bisa menafsirkan makna kalimat
tersebut apabila kata sama diterjemahkan sesuai makna leksikal. Pada ujaran
tersebut pendengar harus menafsirkan kata “sama”
menjadi “dan”. Begitu pula pada kalimat C8, anak sebenarnya
ingin mengujarkan “dengan”.
Pada contoh B2
anak mengujarkan dua kata sama. Namun seperti sebelumnya pendengar tidak akan
memaknai ujaran tersebut apabila menafsirkannya sesuai dengan makna leksikal.
Menariknya dua kata “sama” dalam
ujaran tersebut memiliki makna yang berbeda. Pertama bermakna oleh dan yang
lain bermakna dan. Kira-kira maksud dari ujaran anak tersebut adalah “batu
didorong oleh Kiki dan Hitam”.
Dari berbagai
temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa anak belum dapat membedakan fungsi
penggunaan kata “sama” dengan “dan”, “oleh”, dan “dengan”
terutama pada anak ketiga. Kebelumtahuan anak tersebut membuat beberapa ujaran
anak menjadi ambigu sehingga mengganggu proses pemahaman pendengarnya.
Pendengar dapat mmengantisipasi hal tersebut dengan memperhatikan konteks yang
ada.
Keambiguan
Tingkat Gramatikal
Bentuk struktur
kalimat yang dipakai bisa menyebabkan keambiguan. Dalam bahasa Indonesia kita
temui bahwa dua bila nomina berjejeran sebagai frasa, maka nomina kedua dapat menerangkan
nomina pertama atau nomina kedua merupakan objek dari nomina pertama. Hal
tersebut tidak jarang menyebabkan keambiguan pada kalimat yang diujarkan.
Dardjowidjojo (2012:77) membagi keambiguan tingkat gramatikal menjadi dua,
yakni keambiguan sementara dan keambiguan abadi. Pembahasan keambiguan tingkat
gramatikal juga akan dibagi berdasarkan pembagian tersebut.
Pada keambiguan
sementara, fungsi sintaktik suatu bentuk leksikal berstatus ambigu sampai pada
suatu saat dimana kita memperoleh kata-kata tambahan yang mengudari keambiguan
tersebut (Dardjowidjojo, 2012:77). Perhatikan contoh yang ditemukan pada ujaran
anak berikut.
Kutipan 7
(A1) Hitam /
berjalan kaki sambil bernyanyi-nyanyi.//
(B1) Si Hitam
cerita sama Ibunya.//
(C5) Hitam / tidak jadi ke rumahnya
Kiki.//
Keambiguan yang
dtemukan pada ujaran ketiga anak mempunyai kemiripan. Kalimat A1, B1, dan C5
mempunyai keambiguan yang mirip. Ketika pertama mendengar ujaran tersebut,
pendengar bisa saja mengintepretasikan hitam sebagai warna. Namun ketika kata
selanjutnya diujarkan ternyata interpretasinya salah sehingga dia harus mundur
lagi untuk memproses ulang interpretasinya. Penginterpretasian kalimat A1 dan
C5 lebih sulit karena setelah kata pertama disertai jeda. Berbeda pada
penginterpretasian kalimat kedua, sebelum kata hitam ada preposisi si dan
setelahnya tidak disertai jeda sehingga penginterpretasian menjadi lebih mudah.
Keambiguan abadi
terjadi ketika kalimat yang sudah sampai pada kata terakhir tetap masih ambigu
(Dardjowidjojo, 2012:77). Kata-kata dengan keambiguan jenis ini tetap mempunyai
dua tafsiran makna atau lebih walaupun kalimat tersebut sudah berakhir.
Keambiguan jenis ini merupakan jenis keambiguan yang paling banyak ditemukan
pada ujaran anak. Perhatikan contoh berikut.
Kutipan 8
(A1) Ada
keluarga kelinci/yang bernama Hitam, / Coklat, / Abu-abu.//
Kalimat tersebut
ambigu karena memiliki dua tafsiran makna. Supaya lebih jelas, perhatikan
diagram pohon berikut.
Diagram pohon 1
FN
FN Konj FN
V FN V N
N
N
N N
Ada keluarga kelinci yang bernama Hitam,
Coklat, Abu-abu.
Tafsiran makna pertama.
Diagram pohon 2
FN
FN Pron FN
V FN V N N N
N N
Ada keluarga kelinci yang bernama Hitam,
Coklat, Abu-abu.
Tafsiran makna kedua.
Dari kedua diagram pohon di atas
terlihat jelas keambiguan yang terjadi pada frasa (A1). Tafsiran makna pertama
(pada diagram pohon pertama) adalah yang bernama hitam, coklat dan abu-abu
adalah anggota keluarga kelinci. Dengan kata lain keluarga kelinci mempunyai
anggota keluarga yang bernama hitam, coklat dan abu-abu. Tafsiran makna kedua
(pada diagram pohon kedua) adalah ada keluarga kelinci yang bernama keluarga
hitam, keluarga coklat, dan keluarga abu-abu. Setelah melihat secara
keseluruhan ujaran anak cenderun pada tafsiran makna yang kedua.
Contoh lain terlihat pada ujaran anak
kedua berikut.
Kutipan 9
(B2) di jalan
sambil nyanyi-nyanyi ketemu Kiki.//
Diagram pohon 3
FV
FN FV FV
Prep N Adv V V N
di jalan
sambil nyanyi-nyanyi ketemu Kiki.
Tafsiran makna pertama
Diagram pohon 4
]FV
FN FV
Prep N Adv V V N
di jalan
sambil nyanyi-nyanyi ketemu Kiki.
Tafsiran makna kedua
Frasa B2 di atas
merupakan frasa yang ambigu karena dapat ditafsirkan berbeda. Pada diagram
pohon pertama, frasa tersebut ditafsirkan ketika di jalan sambil nyanyi-nyanyi tiba-tiba
bertemu Kiki. Berbeda pada diagram pohon yang kedua, frasa tersebut ditafsirkan
di jalan sambil bernyanyi-nyanyi lagu yang berjudul ketemu Kiki. Ujaran
tersebut akan membuat pendengar berpikir ulang apakah interpretasinya sudah
benar atau belum. Apabila belum benar, pendengar harus kembali ke awal untuk
memproses ulang interpretasinya. Pada frasa di atas, maksud yang diinginkan
oleh anak adalah cenderung pada tafsiran makna pertama.
Keambiguan jenis
ini kadang terjadi karena ada bagian ujaran yang hilang, atau ujaran tidak
lengkap, seperti yang terlihat pada ujaran yang ditemukan berikut.
Kutipan
10
(C3)
Mengambil daun / tikus.//
Diagram pohon 5
FV
V FN
N N
Mengambil daun tikus
Diagram pohon 6
FV
V
N N
Mengambil daun tikus
Ujaran yang
diinterpretasikan seperti pada kedua diagram pohon tersebut tetap menimbulkan
keambiguan. Hal tersebut terjadi karena ada bagian dari ujaran yang hilang
sehingga membuat ujaran tetap ambigu. Supaya frasa tersebut tidak ambigu dan
dapat dimaknai, frasa tersebut dapat diperbaiki seperti yang tampak pada diagram
pohon berikut.
Diagram pohon 7
FV
V FN
N Prep N
Mengambil daun untuk
tikus
Mengatasi
Keambiguan
Begitu banyak
keambiguan yang ditemukan pada ujaran anak TK. Hal ini tentu menghambat
pemahaman bagi pendengarnya. Pendengar harus lebih berhati-ati
menginterpretasikan ujaran anak kalau tidak mau kembali ke awal untuk memproses
ulang interpretasinya. Keambiguan-keambiguan sebenarnya dapat dihindari melalui
berbagai upaya. Berikut upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari
keambiguan berdasarkan hasil pembahasan di atas.
1.
Pendengar harus
memperhatikan konteks. Dalam berbagai macam keambiguan mana pun, yang memegang
peranan sangat penting adalah konteks. Dari konteks itulah kita dapat
menentukan makna yang dimaksud (Dardjowodjojo, 2005: 78; Chaer, 2003: 288)
sehingga keambiguan dapat dihilangkan. Pada ujaran (B3) “Dengar suara
citcicitcitcit.” terjadi kekuranglengkapan ujaran, yakni tidak adanya Subjek.
Untuk dapat menemukan Subjek, kita harus memahami konteks yang terjadi. Setelah
memperhatikan konteks didapati maksud dari pengujar adalah Kelinci Hitam dan
Kiki mendengar suara citcitcitcit. Hal tersebut sepenuhnya wajar terjadi pada
anak TK karena berkaitan dengan skematanya. Menurut Taylor (1990:54) skemata
disimpan manusia dalam bentuk kelancaran kata-katanya. Sekemata anak-anak belum
sesempurna manusia dewasa sehingga wajar apabila kata-kata yang diujarkan anak
kurang sempurna juga. Hal tersebut dapat menimbulkan keambiguan pada produksi
ujarannya.
2.
Pemberian
penanda batas leksikal dapat pula menghindarkan keambiguan. Hal tersebut tampak
pada frasa (B2) ”di jalan sambil nyanyi-nyanyi ketemu Kiki.” Frasa tersebut
tidak akan ambigu bila diberi penanda batas leksikal “di jalan sambil
nyanyi-nyanyi kemudian ketemu Kiki.”
3.
Pemberian atau
penghilangan penanda batas jeda. Pemberian jeda pada ujaran biasanya akan
menghilangkan keambiguan namun bisa juga malah menimbulkan keambiguan, seperti
yang terlihat pada kalimat B(5) “Ditarik / sampai rumah.” Seharusnya jeda di
tengah-tengah kalimat tesebut dihilangkan supaya pendengar lebih mudah memahami
ujaran.
4.
Pemberian
penanda batas tanda baca. Pemberian penanda batas tanda baca dapat
menghilangkan keambiguan, seperti yang terlihat pada frasa (B2) “di jalan sambil
nyanyi-nyanyi ketemu Kiki.” Supaya lebih mudah dipahami frasa tersebut dapat
diubah menjadi “di jalan sambil nyanyi-nyanyi,
ketemu Kiki”.
BAB V
PENUTUP
Keambiguan dapat
terjadi pada tingkat fonetik, tingkat leksikal, dan tingkat gramatikal.
Keambiguan yang paling banyak ditemukan pada ujaran anak adalah pada tingkat
gramatikal sebanyak 66% dari jumlah keambiguan yang ditemukan. Selanjutnya
adalah keambiguan tingkat leksikal sebanyak 31%.
Keambiguan yang
paling sedikit ditemukan pada tingkat fonetik hanya sebanyak 3%. Hal ini
disebabkan karena ujaran anak TK tidak cepat sehingga pendengar mempunyai waktu
yang lebih lama untuk memproses interpretasinya. Selain itu juga karena anak TK
sudah mulai sempurna mengujarkan bahasa layaknya orang dewasa, walaupun ada
juga yang masih didapati kerancuan.
Keambiguan-keambiguan
tersebut dapat dihindari dengan cara memperhatikan konteksnya, pemberian
penanda batas leksikal, pemberian penanda batas jeda, dan pemberian penanda
batas tanda baca.
Daftar
Rujukan
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik:
Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2012. Psikolinguistik. Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Harras, K.A. dan Andika D.B. 2009. Dasar-Dasar Psikolinguistik. Bandung:
UPI Press.
Taylor,
Insup. 1990. Psycholinguistics. New
Jersey: Prentice-Hall Inc.
Yulianty K., Tri. 2008. Ambiguitas dalam Psikolinguistik. Jatinangor: Universitas
Padjadjaran.
[1]
Agus Purnomo Ahmad Putikadyanto adalah mahasiswa pascasarjana program studi pendidikan bahasa, Indonesia, Universitas Negeri Malang
[2]
A. Syukur Ghazali adalah Dosen Pascasarjana Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia
Universitas Negeri Malang.
[3]
Nita Widiawati adalah Dosen Pascasarjana Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia
Universitas Negeri Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar