Rabu, 08 Juni 2016

Sejarah Malang: Khasanah Tinggalan Budaya Indis di Malang (7)

Khasanah Tinggalan Budaya Indis di Malang (7)

Oleh:
Drs. M. Dwi Cahyono, M.Hum
(Universitas Negeri Malang)

2. Kawasan Ijen Boulevart
Pembangunan Ijen Boulevart serta daerah di sekitarnya  yang mengambil  nama-nama jalan dari nama gunung (Bergenbuurt) bertepatan dengan pengembangan perluasan kota (Bouwplan) VI, yang dimulai tahun pada 1924/1925 hingga jelang Masa Pendudukan Jepang. Lokasinya pada bagian barat Kota Malang, yang topografinya lebih tinggi daripada daerah lainnya. Oleh karena itu sesuai bila diperuntukan bagi perumahan golongan Eropa kelas menengah ke atas, dengan rumah-rumah bertipe villa. Perluasan kota ke arah barat ini didasari pertimbangan akan meningkatnya jumlah warga Eropa yang bermukim di Kota Malang. Antara tahun 1920-1930 jumlah mereka meningkat 100% (tahun 1920 berjumlah 3.504 jiwa, tahun 1930 menjadi 7.463 jiwa).


Perluasan ke arah timur telah dilakukan hingga dua tahap (Bouwplan I dan II), dan sukar untuk dikembangkan lagi lebih ke timur, sebab terpotong oleh aliran Brantas dan Bango serta adanya Bukit Buring (disebut juga Gunung Malang) yang membentang utara-selatan. Kawasan Ijen Boulevart dan sekitarnya bisa dihubungkan dengan kawasan sekitar Alon-alon Bunder dengan jalan poros timur - barat, yang terbentang dari Stasiun KA Kota Baru melintasi jembatan Brantas, memotong Kayutanganstraat, dilanjutkan ke arah barat melewati Semeroestraat, dan berakhir di Seemroeplein. Disamping itu, kawasan ini dapat diakseskan ke Alon-alon Kotak lewat daerah Taloon dan Kawistraat. Dengan jaringan jalan yang demikian, maka kawasan ini memiliki akses, baik ke Alon-alon Kotak sebagai pusat Kabupaten Malang ataupun ke Alon-alon Bunder sebagai pusat Gemeente Malang.

Jalan utama di kawasan ini adalah jalan besar Ijen, yang membujur utara-selatan, dalam bentuk jalan kembar yang dibadian tengahnya diberi pembelah jalan bertaman serta deretan pohon palem pada jalur pejalan kaki di kanan kiri jalan. Pada setiap perpotongan jalan dibuat taman-taman kota dan di tempat-tempat tertentu dilengkapi dengan hutan kota, baik yan berfungsi untuk menambahkan keindahan kawasan, paru-paru kota maupun dae-rah resapan. Selain itu, kawasan ini dilengkapi dengan tempat perbadatan, yaitu Katedral Santa Theresia (Theresiakerk). Peletakan batu pertama pada 11 Februari 1934 dan dires-mikan pada 28 Oktober 1934 untuk dipersembahkan kepada Santa Theresia.

Kini gereja ini populer dengan nama “Gereja Ijen”. Perancangnya adalah Biro Arsitek Rijksen en Estorgie. Letak bangunan pada sisi timur Ijen Boulevart dan sekaligus berada di depan Boeringplein, sehingga terdapat ruang luar yang cukup besar di depan gereja. Selain itu terdapat Gereja Katolik Jawa (sekarang Gereja Kristen Kalam Kudus) di Semeroestraat, yang dibangun ta-hun 1929. Bagunan peribadatan lain adalah tempat peribadatan untuk aliran kepercayaan Moconnieke Loge yang terletak di Tjermeplein (kemudian menjadi gedung Radio Republik Indonesia, lantas jadi Hotel Grahacakra) yang bercorak arsitektur modern.

Selain tempat peribadatan, kawasan ini juga dilengkapi dengan sekolah-sekolah, antara lain adalah Sekolah Dasar berbahasa Belanda (HIS) di Semeroestraat (1926) serta Sekolah Dasar “Ongko Loro (Inlandsche School ze Klasse)” di Betek (1930) yang kini po-puler dengan sebuan “SD Sang Timur”. Selain itu terdapat pula Taman Kanak-kanak (Fro-belschool) dan Sekolah Dasar St. Ursula di Jalan Panderman. Lembaga pendidikan lebih tinggi adalah AMS St. Albertus di Talangstraat (1936), yang kemudian populer dengan se-butan “SMU Dempo”.

Untuk keperluan rekreatif, kawasan ini diperlengkapi dengan lapangan olah raga. Pada tahun 1924 dibangun lapangan olah raga di sekitar Semeroestraat yang besar sekali menurut ukuran jamannya, terdiri atas stadion, lapangan hocky, sebuah buah lapangan se-pak bola, sebilan buah lapangan tennis, kolam renang dan sebuah club house. Pada waktu yang lebih kemudian (1935) dibangun arena pacuan kuda untuk kalangan Belanda. Arealnya antara Gereja Ijen hingga Jl. Badung sekarang (Kini sebagian menjadi kompleks Politeknik Kesehatan Malang).

Di depan pintu masuk menuju ke arena pacuan kuda terdapat persimpangan jalan, yang kini populer dengan sebutan “Simpang Balapan”. Salah satu ruas jalan di kawasan ini, tepatnya di Salakstraat, pada tanggal 31 Juli 1937 menjadi ajang pertempuran yang amat heroik melawan pasukan Belanda, yang dimotori oleh Tentara Pelajar Indonesia (TRIP), yang kini diandai dengan adanya Makam Pahlawan dan Monumen Trip pada seberang barat gereja Ijen. Demikianlah, pada masa lalu kawasan Ijen pernah menjelma menjadi kawasan elit. Kondisi yang demikian belum banyak berubah hingga kini, kendati banyak arsitektur bergaya Indis di kawasan ini yang kini telah mengalami renovasi, bahkan penyirnaan untuk digantikan dengan bangunan yang baru sama sekali.    

3. Gedung Frateran
Sebagaimana dipaparkan di atas, antara tahun 1914 – 1939 di Kota Malang seti-daknya terdapat 3 buah sekolah yang bernaung di bawah Fraterscholen, yaitu: (1) Legere School der Fraters van O.L. Vrouw van’t Heilig Hart di Celaket, (2) Internaat voor Jongens der Fraters van O.L. Vrouw van’t Heilig Hart di Celaket, maupun (3) R.K. Muloschool “St. Franciscus Xaverius” Oro-Oro Dowo. Sebagaimana halnya para frater, para suster pun ikut mendirikan lembaga pendidikan yang lokasinya tidak jauh dari Gedung Frateran. Semula gedung ini digunakan sebagai lembaga pendidikan guru (Kloosterschool Zuster Ursulinen) Santo Agustinus, yang semenjak 15 Juli 1951 berganti nama menjadi SMA Cor Jesu. Lem-baga pendidikan yang dikelola oleh para frater dan suster di Malang itu merupakan sekolah non-pemerintah, yang bernaung di bawah institusi keagamaan Katolik. Sejalan dengan itu, institusi Protestan tak ketinggalan untuk turut bergerak di lapangan pendidikan. Bahkan di Kota Malang terdapat tak kurang dari tujuh sekolah yang dikelola oleh institusi Protestan.

Gedung sekolah dan biara bagi para frater “Bunda Hati Kudus” di Claket (kini Jln. Jaksa Agung Suprapto 20 di seberang timur Bantas) adalah contoh arstektur Indis di Kota Malang yang tergolong sebagai heritage yang masih lestari. Seni bangun artistik yang ter-golong sebagai arsitektur kolonial modern ini adalah karya arsitek swasta pada biro arsitek NV. Architecten-ingenieursbureaw Hulswit en Fermont te Welteureden en Ed. Cuypers dari Batavia, dibangun pada tahun 1926. Turut berjasa dalam proses pendirian lembaga pendidikan Katolik di Malang adalah uskup Mgr. Staal, yang pada 8 Februari 1900 menyatakan keinginan untuk mendirikan sekolah dan biara di Malang. Setelah berdiri, biara dan sekolah Frateran ditempatkan di bawah “Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus Propinsi Indonesia”, yang didirikan oleh Frater Mgr. Andreas Ignatius Schaepman dan diresmikan di Utrect pa-da 13 Agustus 1873. Pada Masa Clash I, tepatnya tahun 1947, sebagaimana nasib 1000 bangunan Indis lainnya di Malang, gedung Frateran yang strategis letaknya tak luput dari pembakaran oleh para pejuang RI guna menghidari pengambilanalihan bangunan oleh pa-sukan Belanda yang hendak mema-suki Kota Malang.


Sesuai dengan fungsinya sebagai sekolah dan sekaligus biara, gedung berlantai dua yang berbentuk landam kuda (seperti huruf “U”) ini dilengkapi dengan asrama bagi pa-ra frater, kapel, dapur dan ruang makan, perpustakaan, kantor, beranda, dsb. Pada bagian tengah halaman gedung yang luas dan asri didirikan patung Yesus Kristus menghadap ke arah timur, yaitu ke arah kapel yang terletak di lantai dua sisi timur. Pintu dan cendela ka-pel dilengkapi dengan kaca fresco warna-warni, sehingga berkas cahaya yang masuk ke dalam ruangan menjadi temaram indah. Dinding sisi luar Gedung Frateran dibuat bergaris-garis menyerupai tatanan bata merah seperti halnya kebanyakan bangunan di Eropa pada jamannya. Lantai bangunan dari tegel warna dan tegel hias, yang sebagaian besar darinya masih terpasang. Demikian pula, mebelair, lukisan dan perangkat rumah lama lainnya juga masih terawat dengan baik. Seperti kebanyakan bangunan Indis di Kota Malang yang diba-ngun tahun 1920 - 1930-an, atap Gedung Frateran juga memiliki bentuk yang menonjol.

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2008/10/24/06325234/Khasanah.Tinggalan.Budaya.Indis.di.Malang.7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar