Khasanah Tinggalan
Budaya Indis di Malang (10)
Oleh:
Drs. M. Dwi Cahyono,
M.Hum
(Universitas Negeri
Malang)
5. Komplek Makam bagi
Golongan Eropa di Sukun
Pengadaan komplek makam
untuk golongan Eropa di Sukun dilakukan bertepat-an dengan tahap ke-3 rencana
perluasan pembangunan (Bouwplan III), yang dilaksanakan pada tahun 1920. Dalam
rencana perluasan ini, pada areal di bagian selatan Kota Malang hendak dibangun
komplek pemakaman yang layak bagi golongan Eropa yang bermukim di Malang.
Sebenarnya, makam Sukun bukanlah makam bagi golongan Eropa yang pertama di
Malang. Pada masa sebelumnya, terdapat makam Balanda di Klojen Lor. Lokasi
makam ini adalah di Jalan Trunojoyo sekarang (dulu bernama Goedangweg), yang
setelah relokasi tanah eks makam ini untuk sementara waktu pernah digunakan
sebagai terminal bus. Me-nilik lokasinya yang berdekatan dengan loji pertama di
Malang yang didirikan tahun 1767, boleh jadi kompleks makam ini adalah makam
golongan Eropa tertua di Kota Malang, yang telah ada semenjak akhir abad ke-18.
Selain itu terdapat dua makam umum lainnya di uta-ra dan selatan jalan yang
dulu bernama Kutobedahstraat, yaitu makam Islam di Soekorejo yang berlokasi di
utara jalan dan makam Tiong Hoa di selatan jalan.
Dalam Bouwplan I
direncanakan untuk membangunan perumahan bagi golongan Eropa dari Celaket
hingga Rampal, yang dikenal dengan sebutan “Oranjebuurt”. Dalam ka-itan itu,
makam golongan Eropa di Klojen Lor Straat dipandang perlu untuk direlokasikan
ke tempat lain, sebab tidak layak terdapat kompleks makam di tengah-tengah
areal peru-mahan.
Semula ada beberapa
tempat yang dialternatifkan sebagai areal pengganti, yaitu di Bareng, Kauman,
Lowokwaru dan Sukun. Pada tanggal 31 Mei 1918 pernah dipilih areal seluas 25 ha
di Bareng dan Kauman, namun kemudian dibatalkan. Areal alternatif lokasi di
Lowokwaru pun gagal karena adanya protes dari warga sekitarnya, sehingga
pilihan hanya tinggal di daerah Sukun. Pilihan ini memungkinkan, sebab kala itu
di Sukun masih merupa-kan daerah pinggiran kota yang mempunyai areal cukup luas
untuk kompleks pemakaman dan punduduknya masih jarang. Pembangunan kompleks
makam ini dilakukan secara ber-tahap. Mula-mula dibungun pintu gerbang dan
sebagian dari kompleks makam. Relokasi makam dari Klojen Lor ke Sukun
direalisasikan pada 25 April 1920, dan untuk kali pertama pada tahun 1921 ada
jasat orang Belanda yang meninggal pada waktu itu dan dimakam-kan di kompels
makam ini.
Dalam peta Kota Malang
tahun 1937 dengan tegas dinyatakan sebagai “Makam Kristen”. Hingga kini,
Kuburan Sukun masih berstatus sebagai pemakaman Kristen. Berda-sarkan register
lama mengenai orang-orang Eropa yang dimakamkan di kompleks makam Sukun, arsip
kepunyaan Suku Dinas Pemakaman Kota Malang, diketahui bahwa terhitung sejak
tahun 1921 ada ribuan orang Eropa yang pernah disemayamkan di kompleks makam
ini, baik yang semenjak awal pemakamannya berada di tempat ini atau yang
merupakan pindahan dari kompleks makam Eropa di Klojen Lor. Kebanyakan makam
golongan orang Eropa berupa sebuah jirat lengkap dengan papan marmer yang
merupakan inskripsi yang memuat identitas mengenai orang yang dimakamkan.
Sebagian darinya dilengkapi dengan bangunan yang berupa pilar-pilar penyangga
atap. Bentuknya mengingatkan pada miniatur rumah bergaya Indis, yang ketika itu
mengkesan sebagai makam yang artistik dan mewah. Bahkan, ada pula yang
diperlengkapi dengan tugu, salib dan pating malaikat.
Pada Masa Pendudukan
Jepang (1942-1945), kompleks makam ini pernah juga digunakan sebagai pemakaman bagi
bala tentara Jepang yang meninggal di Malang. Oleh karenanya, pada tahun 1982
di pengujung kompleks makam ini didirikan monumen makam tentara Jepang oleh
warga Jepang di Malang. Adapun pada sekarang, kebanyakan yang disemayamkan
disini adalah orang Tiong Hoa beragama Kristen, dengan bentuk arsitektur makam
yang relatif seragam, karena wajib memilih bentuk bangunan yang telah
ditetapkan dan memakai jasa tukang bangunan yang telah disiapkan oleh Pengurus
Makam. Sayang sekali, kini saksi bisu mengenai orang-orang Eropa yang pernah
menghuni dan meninggal di Kota Malang ini banyak yang tidak terawat, atau
bahkan ditimbun menjadi makam baru, kecuali untuk makam orang Eropa yang masih
memiliki sanak keturunan di Indonesia dan rajin merawatnya.
Kalaupun masih ada yang
menyisakan sebagian bangunan makamnya, namun kebanyakan papan marmer yang
memuat identitas tentang orang yang dimakam-kan telah dijarah atau dalam
kondisi fragmentaris. Bagi makam tak diketahui ahli warisnya dan tidak membayar
retribusi tahunan kepada Pemerintah Kota Malang, baginya teracam untuk digusur
dari fasiltas umum ini. Apabila ada satu makam yang tergusur, berarti kita
bakal kehilangan satu data sejarah mengenai Kota Malang tempo dulu.
6. Pabrik Gula
Kebonagung
Pada tahun 1870
pemerintahan Hindia-Belanda memberlakukan dua perundang-an, yakni Undang-Undang
Gula (Suikerwet) dan Undang-Undang Agraria (Agrarischewet). Dengan
diberlakukannya kedua udang-undang ini, ketentuan Tanam Paksa
(Cultuurstelsel) dihapuskan, dan di
pihak lain kalangan swasta mendapat peluang untuk mengembangkan modal usaha
pada sektor pertanian dan perkebunan. Kawasan Malang yang memiliki lahan subur
adalah daerah yang cocok untuk dikembangkan menjadi areal pertanian dan
perke-bunan. Selain padi dan palawija sebagai tanaman pertanian, di lereng
gunung dan lembah sungai dibudidayakan jenis tanaman kopi, teh, kina, buah,
sayur, dan tebu. Perladangan di sekitar bantaran sungai dan lahan kering
(ladang tadah hujan) di perbukitan Kapur Selatan, di lereng Gunung Semeru, Tengger
dan Kawi adalah lahan yang banyak ditanami dengan tanaman palawija dan tebu.
Keberadaan perkebunan tebu yang luas di kawasan Malang ini menjadi pertimbangan
untuk mendirikan pabrik gula (suiker frabriek). Ada dua pabrik gula yang berada
di Malang, yaitu Pabrik Gula di Krebet dan di Kebonagung. Lewat perkebunan tebu
dan pabrik gula ini modal usaha swasta dikembangkan, sementara para petani
men-jadi pembudidaya tanaman atau hanya sekedar jadi buruh perkebunan dan buruh
pabrik.
Pabrik Gula Krebet
utamanya digunakan untuk mengolah tebu dari lahan perke-bunan di Malang timur
dan selatan. Sedangkan Pabrik Gula Kebon Agung utamanya untuk mengolah tebu
dari lahan perkebunan tebu di Malang barat dan selatan. Untuk mengang-kut tebu
dari areal perkebunan milik pabrik gula atau dari ladang milik para petani ke
pabrik gula dibangunlah jaringan rel
kereta api khusus, yang disebut “lori”. Pada masa lalu, Pabrik Gula Kebonagung
memilik delapan buah lokomotif yang mampu menarik gerbong lori hing-ga
rangkaian 20 buah lori, yang dioperasikan dengan mempergunakan tenaga uap lewat
pembakaran kayu. Dua di antara lokomotif tersebut adalah buatan Negeri Belanda
tahun 1922, yakni produksi Henschel dan Sohn Gasche. Kini tinggal dua buah loko
yang masih beroperasi, itupun hanya bergerak dalam lingkungan pabrik. Selain
lori, pengangkutan tebu rakyat juga menggunakan kereta lembu (cikar glodag).
Setelah maraknya kendaraan ber-motor, khususnya truk, sebagai pengangkut tebu,
penggunaan lori praktis ditinggalkan. Rel lori banyak yang telah dibongkar atau
ditutupi dengan lapisan aspal jalan raya. Kendatipun demikian, memori
masyarakat terhadap lori masih tertinggal hingga kini. Terbukti, walau rel lori
telah tiada dan tak ada lagi lori yang melintas, namun kampung Mergan di Kota
Malang masih dikenal dengan sebutan “Mergan Lori”.
Selain pabrik gula yang
mengolah tebu menjadi gula pasir berwarna putih (gulo putih), pada kalangan
masyarakat pribumi pedesaan terdapat tempat pengolahan nira tebu menjadi gula
berwarna merah (gulo abang), yang dicetak ke dalam tempurung kelapa (di-namai
“golo bathok”). Tempat pengolahan tebu rakyat ini merupakan usaha rumah tangga
non-mesin, yang hanya menggunakan tenaga lembu untuk memutar perangkat
penggiling tebu. Proses pengolahan tebu menjadi gula di pabrik gula menempuh
tahapan yang cukup panjang, seperti: (1) pencacahan batang tebu, (2)
penggilingan batang tebu untuk mengha-silkan nira tebu encer kotor, (3)
pemurnian nira tebu encer menjadi nira encer bersih, (4) penguapan nira encer
menjadi nira kental, (5) pengkristalan nira kental menjadi kristal gula
(mascuite), (6) pemurnian mascuite di stasiun pemutaran hingga menghasilkan
gula pasir siap jual, dan (7) pembungkusan.
Lewat usaha perkebunan tebu dan pabrik gula milik pe-ngusaha swasta
berkebangsaan Belanda atau Timur Asing (khususnya pengusaha Tiong Hoa) inilah
modal usaha swasta dikembangkan di tengah-tengah dinamika perekonomian
Hindia-Belanda semenjak akhir abad XIX dan awal abad XX.
Salah satu pabrik gula
dan perkebunan tebu milik pengusaha Tiong Hoa adalah pabrik gula Kebon Agung.
Pendiri dan dan sekaligus pemilik pertamanya adalah Tan Tjwan Bie, yang menurut
kabar ia berasal dari Kota Surabaya. Pabrik gula yang berlokasi di Desa
Kebonagung Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang atau sekitar 5 km di sebelah
selatan pusat Kota Malang ini didirikan tahun 1905, namun baru berproduksi
tahun 1908. Perijinan untuk pendirian pabrik melalui proses yang rumit,
lantaran adanya kompetisi ketat antar pa-brik gula yang telah ada. Jawa Timur
adalah kawasan yang banyak bercokol pabrik gula. Bayangkan, hingga awal abad
XX, antara Madiun – Probolinggo terdapat tidak kurang dari 185 buah pabrik
gula. Dalam perkembangannya, Pabrik Gula Kebon Agung telah beberapa kali
mengalami alih kepemikan.
Antara tahun 1905-1914
menjadi milik Tan Tjwan Bie. Lalu beralih ke Javansche Bank (1914-1938). Pada
tahun 1917 dibentuklah Dewan Direksi atas nama “NV. Handel & Lanbouw
Maatschappij Tideman van Kerchem (TVK)”, dengan bentuk usaha Namloze
Venootschap Suiker Fabriek. Bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi dunia
(malaise), antara tahun 1932-1937 produksi gula di Pabrik Gula Kebonagung
mengalami kemerosotan tajam, meski tak sampai benar-benar tutup. Pada masa
Penjajahan Bala Tentara Jepang (1942-1945) pabrik gula ini jatuh ke Pemerintah
Dai Nipon. Setelah kemer-dekaan Republik Indonesia (RI), tahun 1945-1949 Pabrik
Gula Kebonagung dikuasai oleh Pemerintah RI. Boleh dibilang, Pabrik Gula
Kebonagung adalah sedikit dari banyak pabrik gula yang mampu bertahan di tengah
gejolak perang.
Pada tahun 1949 kembali
pabrik gula ini mengalami alih kepemilikan ke tangan TVK. Manakala terjadi
“nasionalisasi”, pada ta-hun 1957 Pabrik Gula Kebonagung tidak luput dari
nasionalisasi menjadi milik negara RI. Pada akhirnya, terhitung tahun 1968
dikembalikan kepada Javansche Bank (kini bernama “Bank Indonesia”). Kendati
telah berulangkali beralih kepemilikan, namun pabrik gula yang terbilang modern
pada jamannya ini tetap pada fungsinya semula sebagai pabrik gula, dan hingga
seabad kemudian (1908-2008) masih berproduksi.
(SELESAI)
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2008/10/29/05571440/Khasanah.Tinggalan.Budaya.Indis.di.Malang.10
Bapak punya website ya ?
BalasHapus