Rabu, 08 Juni 2016

Sejarah Malang: Khasanah Tinggalan Budaya Indis di Malang (10)

Khasanah Tinggalan Budaya Indis di Malang (10)
Oleh:
Drs. M. Dwi Cahyono, M.Hum
(Universitas Negeri Malang)

5. Komplek Makam bagi Golongan Eropa di Sukun
Pengadaan komplek makam untuk golongan Eropa di Sukun dilakukan bertepat-an dengan tahap ke-3 rencana perluasan pembangunan (Bouwplan III), yang dilaksanakan pada tahun 1920. Dalam rencana perluasan ini, pada areal di bagian selatan Kota Malang hendak dibangun komplek pemakaman yang layak bagi golongan Eropa yang bermukim di Malang. Sebenarnya, makam Sukun bukanlah makam bagi golongan Eropa yang pertama di Malang. Pada masa sebelumnya, terdapat makam Balanda di Klojen Lor. Lokasi makam ini adalah di Jalan Trunojoyo sekarang (dulu bernama Goedangweg), yang setelah relokasi tanah eks makam ini untuk sementara waktu pernah digunakan sebagai terminal bus. Me-nilik lokasinya yang berdekatan dengan loji pertama di Malang yang didirikan tahun 1767, boleh jadi kompleks makam ini adalah makam golongan Eropa tertua di Kota Malang, yang telah ada semenjak akhir abad ke-18. Selain itu terdapat dua makam umum lainnya di uta-ra dan selatan jalan yang dulu bernama Kutobedahstraat, yaitu makam Islam di Soekorejo yang berlokasi di utara jalan dan makam Tiong Hoa di selatan jalan.  
Dalam Bouwplan I direncanakan untuk membangunan perumahan bagi golongan Eropa dari Celaket hingga Rampal, yang dikenal dengan sebutan “Oranjebuurt”. Dalam ka-itan itu, makam golongan Eropa di Klojen Lor Straat dipandang perlu untuk direlokasikan ke tempat lain, sebab tidak layak terdapat kompleks makam di tengah-tengah areal peru-mahan.


Semula ada beberapa tempat yang dialternatifkan sebagai areal pengganti, yaitu di Bareng, Kauman, Lowokwaru dan Sukun. Pada tanggal 31 Mei 1918 pernah dipilih areal seluas 25 ha di Bareng dan Kauman, namun kemudian dibatalkan. Areal alternatif lokasi di Lowokwaru pun gagal karena adanya protes dari warga sekitarnya, sehingga pilihan hanya tinggal di daerah Sukun. Pilihan ini memungkinkan, sebab kala itu di Sukun masih merupa-kan daerah pinggiran kota yang mempunyai areal cukup luas untuk kompleks pemakaman dan punduduknya masih jarang. Pembangunan kompleks makam ini dilakukan secara ber-tahap. Mula-mula dibungun pintu gerbang dan sebagian dari kompleks makam. Relokasi makam dari Klojen Lor ke Sukun direalisasikan pada 25 April 1920, dan untuk kali pertama pada tahun 1921 ada jasat orang Belanda yang meninggal pada waktu itu dan dimakam-kan di kompels makam ini.

Dalam peta Kota Malang tahun 1937 dengan tegas dinyatakan sebagai “Makam Kristen”. Hingga kini, Kuburan Sukun masih berstatus sebagai pemakaman Kristen. Berda-sarkan register lama mengenai orang-orang Eropa yang dimakamkan di kompleks makam Sukun, arsip kepunyaan Suku Dinas Pemakaman Kota Malang, diketahui bahwa terhitung sejak tahun 1921 ada ribuan orang Eropa yang pernah disemayamkan di kompleks makam ini, baik yang semenjak awal pemakamannya berada di tempat ini atau yang merupakan pindahan dari kompleks makam Eropa di Klojen Lor. Kebanyakan makam golongan orang Eropa berupa sebuah jirat lengkap dengan papan marmer yang merupakan inskripsi yang memuat identitas mengenai orang yang dimakamkan. Sebagian darinya dilengkapi dengan bangunan yang berupa pilar-pilar penyangga atap. Bentuknya mengingatkan pada miniatur rumah bergaya Indis, yang ketika itu mengkesan sebagai makam yang artistik dan mewah. Bahkan, ada pula yang diperlengkapi dengan tugu, salib dan pating malaikat.

Pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945), kompleks makam ini pernah juga digunakan sebagai pemakaman bagi bala tentara Jepang yang meninggal di Malang. Oleh karenanya, pada tahun 1982 di pengujung kompleks makam ini didirikan monumen makam tentara Jepang oleh warga Jepang di Malang. Adapun pada sekarang, kebanyakan yang disemayamkan disini adalah orang Tiong Hoa beragama Kristen, dengan bentuk arsitektur makam yang relatif seragam, karena wajib memilih bentuk bangunan yang telah ditetapkan dan memakai jasa tukang bangunan yang telah disiapkan oleh Pengurus Makam. Sayang sekali, kini saksi bisu mengenai orang-orang Eropa yang pernah menghuni dan meninggal di Kota Malang ini banyak yang tidak terawat, atau bahkan ditimbun menjadi makam baru, kecuali untuk makam orang Eropa yang masih memiliki sanak keturunan di Indonesia dan rajin merawatnya.

Kalaupun masih ada yang menyisakan sebagian bangunan makamnya, namun kebanyakan papan marmer yang memuat identitas tentang orang yang dimakam-kan telah dijarah atau dalam kondisi fragmentaris. Bagi makam tak diketahui ahli warisnya dan tidak membayar retribusi tahunan kepada Pemerintah Kota Malang, baginya teracam untuk digusur dari fasiltas umum ini. Apabila ada satu makam yang tergusur, berarti kita bakal kehilangan satu data sejarah mengenai Kota Malang tempo dulu.

6. Pabrik Gula Kebonagung
Pada tahun 1870 pemerintahan Hindia-Belanda memberlakukan dua perundang-an, yakni Undang-Undang Gula (Suikerwet) dan Undang-Undang Agraria (Agrarischewet). Dengan diberlakukannya kedua udang-undang ini, ketentuan Tanam Paksa (Cultuurstelsel)  dihapuskan, dan di pihak lain kalangan swasta mendapat peluang untuk mengembangkan modal usaha pada sektor pertanian dan perkebunan. Kawasan Malang yang memiliki lahan subur adalah daerah yang cocok untuk dikembangkan menjadi areal pertanian dan perke-bunan. Selain padi dan palawija sebagai tanaman pertanian, di lereng gunung dan lembah sungai dibudidayakan jenis tanaman kopi, teh, kina, buah, sayur, dan tebu. Perladangan di sekitar bantaran sungai dan lahan kering (ladang tadah hujan) di perbukitan Kapur Selatan, di lereng Gunung Semeru, Tengger dan Kawi adalah lahan yang banyak ditanami dengan tanaman palawija dan tebu. Keberadaan perkebunan tebu yang luas di kawasan Malang ini menjadi pertimbangan untuk mendirikan pabrik gula (suiker frabriek). Ada dua pabrik gula yang berada di Malang, yaitu Pabrik Gula di Krebet dan di Kebonagung. Lewat perkebunan tebu dan pabrik gula ini modal usaha swasta dikembangkan, sementara para petani men-jadi pembudidaya tanaman atau hanya sekedar jadi buruh perkebunan dan buruh pabrik.

Pabrik Gula Krebet utamanya digunakan untuk mengolah tebu dari lahan perke-bunan di Malang timur dan selatan. Sedangkan Pabrik Gula Kebon Agung utamanya untuk mengolah tebu dari lahan perkebunan tebu di Malang barat dan selatan. Untuk mengang-kut tebu dari areal perkebunan milik pabrik gula atau dari ladang milik para petani ke pabrik  gula dibangunlah jaringan rel kereta api khusus, yang disebut “lori”. Pada masa lalu, Pabrik Gula Kebonagung memilik delapan buah lokomotif yang mampu menarik gerbong lori hing-ga rangkaian 20 buah lori, yang dioperasikan dengan mempergunakan tenaga uap lewat pembakaran kayu. Dua di antara lokomotif tersebut adalah buatan Negeri Belanda tahun 1922, yakni produksi Henschel dan Sohn Gasche. Kini tinggal dua buah loko yang masih beroperasi, itupun hanya bergerak dalam lingkungan pabrik. Selain lori, pengangkutan tebu rakyat juga menggunakan kereta lembu (cikar glodag). Setelah maraknya kendaraan ber-motor, khususnya truk, sebagai pengangkut tebu, penggunaan lori praktis ditinggalkan. Rel lori banyak yang telah dibongkar atau ditutupi dengan lapisan aspal jalan raya. Kendatipun demikian, memori masyarakat terhadap lori masih tertinggal hingga kini. Terbukti, walau rel lori telah tiada dan tak ada lagi lori yang melintas, namun kampung Mergan di Kota Malang masih dikenal dengan sebutan “Mergan Lori”.

Selain pabrik gula yang mengolah tebu menjadi gula pasir berwarna putih (gulo putih), pada kalangan masyarakat pribumi pedesaan terdapat tempat pengolahan nira tebu menjadi gula berwarna merah (gulo abang), yang dicetak ke dalam tempurung kelapa (di-namai “golo bathok”). Tempat pengolahan tebu rakyat ini merupakan usaha rumah tangga non-mesin, yang hanya menggunakan tenaga lembu untuk memutar perangkat penggiling tebu. Proses pengolahan tebu menjadi gula di pabrik gula menempuh tahapan yang cukup panjang, seperti: (1) pencacahan batang tebu, (2) penggilingan batang tebu untuk mengha-silkan nira tebu encer kotor, (3) pemurnian nira tebu encer menjadi nira encer bersih, (4) penguapan nira encer menjadi nira kental, (5) pengkristalan nira kental menjadi kristal gula (mascuite), (6) pemurnian mascuite di stasiun pemutaran hingga menghasilkan gula pasir siap jual, dan (7) pembungkusan.  Lewat usaha perkebunan tebu dan pabrik gula milik pe-ngusaha swasta berkebangsaan Belanda atau Timur Asing (khususnya pengusaha Tiong Hoa) inilah modal usaha swasta dikembangkan di tengah-tengah dinamika perekonomian Hindia-Belanda semenjak akhir abad XIX dan awal abad XX.

Salah satu pabrik gula dan perkebunan tebu milik pengusaha Tiong Hoa adalah pabrik gula Kebon Agung. Pendiri dan dan sekaligus pemilik pertamanya adalah Tan Tjwan Bie, yang menurut kabar ia berasal dari Kota Surabaya. Pabrik gula yang berlokasi di Desa Kebonagung Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang atau sekitar 5 km di sebelah selatan pusat Kota Malang ini didirikan tahun 1905, namun baru berproduksi tahun 1908. Perijinan untuk pendirian pabrik melalui proses yang rumit, lantaran adanya kompetisi ketat antar pa-brik gula yang telah ada. Jawa Timur adalah kawasan yang banyak bercokol pabrik gula. Bayangkan, hingga awal abad XX, antara Madiun – Probolinggo terdapat tidak kurang dari 185 buah pabrik gula. Dalam perkembangannya, Pabrik Gula Kebon Agung telah beberapa kali mengalami alih kepemikan.

Antara tahun 1905-1914 menjadi milik Tan Tjwan Bie. Lalu beralih ke Javansche Bank (1914-1938). Pada tahun 1917 dibentuklah Dewan Direksi atas nama “NV. Handel & Lanbouw Maatschappij Tideman van Kerchem (TVK)”, dengan bentuk usaha Namloze Venootschap Suiker Fabriek. Bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi dunia (malaise), antara tahun 1932-1937 produksi gula di Pabrik Gula Kebonagung mengalami kemerosotan tajam, meski tak sampai benar-benar tutup. Pada masa Penjajahan Bala Tentara Jepang (1942-1945) pabrik gula ini jatuh ke Pemerintah Dai Nipon. Setelah kemer-dekaan Republik Indonesia (RI), tahun 1945-1949 Pabrik Gula Kebonagung dikuasai oleh Pemerintah RI. Boleh dibilang, Pabrik Gula Kebonagung adalah sedikit dari banyak pabrik gula yang mampu bertahan di tengah gejolak perang.


Pada tahun 1949 kembali pabrik gula ini mengalami alih kepemilikan ke tangan TVK. Manakala terjadi “nasionalisasi”, pada ta-hun 1957 Pabrik Gula Kebonagung tidak luput dari nasionalisasi menjadi milik negara RI. Pada akhirnya, terhitung tahun 1968 dikembalikan kepada Javansche Bank (kini bernama “Bank Indonesia”). Kendati telah berulangkali beralih kepemilikan, namun pabrik gula yang terbilang modern pada jamannya ini tetap pada fungsinya semula sebagai pabrik gula, dan hingga seabad kemudian (1908-2008) masih berproduksi.  (SELESAI)

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2008/10/29/05571440/Khasanah.Tinggalan.Budaya.Indis.di.Malang.10

1 komentar: