Punya Anak Kembar,
Arsitek Belanda Bikin Gedung Kembar di Kayutangan
Warga Kota Malang pasti
tahu kawasan Kayutangan. Tapi, mungkin tak banyak tahu, mengapa disebut
Kayutangan? Mengapa dulu orang-orang Eropa banyak yang memilih tinggal di sana?
Setidaknya ada dua
versi yang menyebutkan, mengapa disebut Jalan Kayutangan, yang di zaman Belanda
dikenal dengan nama Jalan Pita itu?
Pertama, merujuk pada
data sejarahyang menyebutkan sebelum tahun 1914 di kawasan itu terdapat papan
penunjuk arah berukuran besar yang berbentuk tangan yang dibuat oleh Belanda.
Kedua, disaat mulai
berkembangnya kawasan alun-alun, di ujung jalan arah alun-alun terdapat pohon
yang menyerupai tangan. Karena itu kawasan tersebut lantas disebut Kayutangan.
Entah mana yang menjadi
dasar. Yang jelas, nama Kayutangan (Kajoetangan) banyak terdapat di buku
laporan Belanda tahun 1890 hingga masih diucapkan sampai sekarang. Kompleks
pertokoan di sepanjang Jalan Kayutangan (sekarang Jalan Basuki Rahmad) mulai
dari pertigaan depan PLN sampai di depan Gereja Katolik Kayutangan dibangun
antara tahun 1930-1940, yang saat itu bergaya atap datar dan berbentuk kubus.
Di sepanjang Jalan
Kayutangan terdapat perempatan yang terkenal, yang dulu sering disebut
perempatan Rajabaly. Yang menarik adalah keunikan bentuk arsitektur
pertokoannya yang terdapat tepat di perempatan Jalan Kayutangan (sekarang Jalan
Basuki Rahmat, Jalan Kahuripan, dan Jalan Semeru).
Pertokoan itu dibangun
pada tahun 1936 oleh arsitek Karel Bos. Bentuk kembar bangunan sebelah kanan
dan kiri itu bukan hanya menggambarkan pintu gerbang menuju Jalan Semeru, tapi
menurut beberapa tokoh masyarakat di sana, bangunan kembar tersebut
terinspirasi dari sang arsitek yang baru dikaruniai putra kembar.
Gaya arsitektur yang
beraliran Nieuwe Bouwen itu mempunyai menara di atas bangunan yang berfungsi
sebagai tempat pengamatan sekitar.
Beberapa kejadian yang
menggunakan akses Kayutangan sebagai jalan utama antara lain, prosesi
penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang pada 27-28 Februari 1942.
Sebelumnya, sekutu Belanda menyerah kalah di Laut Jawa pada 1 Februari 1942.
Ketika itu, pukul 04.00
pasukan Jepang memasuki Pulau Jawa di empat Pesisir Laut Utara. Invasi Jepang
di Jawa Timur dipimpin oleh Letnan Jendral Tsuchihashi Yuitsu dengan total
pasukan 20.000 orang. Pasukan Belanda Divisi III yang tersisa pimpinan Mayor
Jendral G.A.Ilgen terkonsentrasi di Ngoro.
Di Malang, batalyon
marinir yang dipimpin oleh W.A.J mundur ke Dampit. Tahun 1942 diberlakukan
Milisi (Wajib Militer). Program milisi itu mempersenjatai kaum pelajar untuk
melawan pasukan Jepang. Tanggal 8 Maret 1942, Malang dinyatakan sebagai kota
terbuka. Sekali lagi jalan tempat konsentrasi masa saat itu berada di Jalan
Kayutangan.
Sore harinya negosiator
Jepang menuntut Belanda untuk menyerah tanpa syarat. Maka Letnan Jendral Ter Poorten
menyerah kepada Nippon. Kemudian pasukan Jepang memasuki Malang. Pada fase I
penguasaan Jepang di Malang diadakan parade di Ijen Boulevard melewati
Kayutangan.
Saat itu semua rakyat
mengelu-elukan Jepang sebagai penyelamat dan menjanjikan kemakmuran yang baik
dengan slogan “Asia untuk Orang Asia” yang tak lain propaganda Jepang. Pada 9
Maret 1942 pukul 03.00 dini hari, Residen Malang G. Schwenkcke menyebarkan
selebaran. Jika ditulis dengan bahasa sekarang: “Pendudukan pasukan Dai Nippon
akan datang dalam beberapa jam untuk menenangkan kota supaya tidak ada
pertempuran. Maka saya akan minta komandan Dai Nippon untuk membolehkan
tugas-tugas pekerjaan politik”.
Jepang lantas
mengeluarkan perintah larangan untuk mengibarkan bendera Belanda, mendengarkan
radio siaran luar negeri dan memasang gambar Ratu Belanda serta anggota
kerajaan Belanda.
Pada 16 Maret 1942
diumumkan pengurangan gaji pegawai yang drastis, pakaian dan barang-barang
berharga disita. Semua sekolah pendidikan Belanda ditutup. Semua uang di bank
dipindah ke Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia). Krisis keuangan di
mana-mana.pada 30 Juli 1947 di Jakarta, The Nieuwsqier menuliskan bahwa
masyarakat, polisi dan pemerintah Malang mencoba menghalang-halangi pasukan
Belanda, tetapi kemudian dapat dikalahkan.
Pada 31 Juli 1947,
surat kabar nasional di Jogjakarta menulis, jika diterjemahkan secara bebas
adalah: “Di Malang ada taktik bumi-hangus yang diterapkan besar-besaran dan
diperkirakan 1.000 bangunan balanda dan instalasi strategis dihancurkan dengan
cara dibakar dan diledakkan dengan sisa-sisa bom milik Dai Nippon.
Patung Chairil Anwar di
Kayutangan
Sebelum perang 1947,
Malang mempunyai cara unik dalam berperang, yakni tidak dengan senjata, tetapi
dengan pena. Untuk selalu mengobarkan semangat para pemuda, atas gagasan
seorang pemuda A.Hudan Dardiri, dibangunlah patung penyair binatang jalang
kelahiran Medan Chairil Anwar.
Sengaja patung ini
dibangun di tengah-tengah poros jalan utama waktu itu, Kayutangan. Dibangun
pada tanggal 28 April 1955, diresmikan oleh Wali-kotamadya Malang Sardjono.
Saat itu Kayutangan diyakini sebagai jalan persimpangan yang selalu dilewati
semua pejuang Malang.
Karena itu, sangat
strategis jika ingin menyampaikan pesan apapun kepada masyarakat Malang lewat
Jalan Kayutangan. “Biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang,
menerjang…”. Ini adalah cuplikan puisi Chairil Anwar yang menggambarkan
semangat perjuangan seorang seniman lewat karya sastranya.
Di Malang, peran aktif
seniman dalam membangkitkan api perjuangan sangat dihargai. Tepat di ujung
Jalan Kayutangan juga terdapat bangunan yang juga menjadi saksi sejarah Kota
Malang, yakni Gedung Societeit Concordia.
Gedung ini patut
dijuluki sebagai cikal bakal sejarah Malang, karena menjadi tempat tinggal
pertama bupati sekaligus menjadi tempat berkumpul pertama warga Belanda saat
mulai berani keluar dari benteng pertahanan di Celaket.
Berdasar Surat Resolusi
pada 31 Oktober 1820 Nomor 16 (Bupati Soerabaia, 1914) menyatakan bahwa tempat
yang sekarang menjadi Sarinah Mall itu adalah Rumah Dinas Raden Panji
Wielasmorokoesoemo. Setelah diangkat menjadi Bupati Malang dan Ngantang, lantas
berganti nama menjadi Raden Toemenggoeng Notodiningrat.
Jadi, Kantor Kabupaten
Malang sebelum berada di lokasi sekarang (Jalan H.Agus Salim), awalnya berada
di tempat itu sampai tahun 1839 bersamaan dengan wafatnya beliau. Setelah itu
tempat bekas pendapa kebupaten ini diambil oleh Belanda kemudian dijadikan
Gedung Societiet Concordia. Dibangun sebelum tahun 1900 dengan gaya Indishe
Empire yang bercirikan kolom-kolom Yunani Kuno.
Setelah tahun 1914,
setelah Malang menjadi kotapraja, gedung tersebut dirobohkan dan digantikan
dengan model bangunan kolonial modern untuk mengakomodasi kebutuhan tempat
rekreasi warga Belanda. Di sana disediakan seperti meja tempat main kartu, meja
biliar, perpustakaan, gedung pertemuan dan ice skating di atap yang datar, dan
pada saat tertentu dilapisi es (Ong Kian Bie).
Pada tahun 1947, gedung
yang pernah dipakai sedang KNI pusat itu dibumihanguskan dalam rangka strategi
perang gerilya dan tahun 1948 gedung tersebut diratakan dengan tanah, lalu
dibangun gedung gedung baru untuk pusat pertokoan pertama di Malang yang
sekarang bernama Sarinah. Nama Sarinah diciptakan oleh Presiden Soekarno yang
berarti abdi masyarakat.
Pertokoan Kayutangan
memberikan berkah kepada penduduk pribumi yang mengais rezeki sebagai pegawai
toko di Kayutangan. Selai itu juga menjadi tempat pertemuan penduduk Eropa dan
pribumi atas nama ekonomi sejak sebelum tahun 1900.
Jika mengacu pada buku
Stadsgemeente Malang (1914-1939), penduduk Malang tahun 1914 terdiri dari tiga
golongan. Yakni, pribumi, 40.000 jiwa, Eropa 2.500 jiwa dan Timur asing 4.000
jiwa. Daerah penyebarannya meliputi, orang Eropa di barat daya alun-alun
(Talun, Tongan, Sawahan, Kayutangan, Oro-oro Dowo, Celaket, Klojenlor, dan
Rampal).
Orang-orang China
menempati daerah Pecinan, orang-orang pribumi di daerah Kebalen, Temenggungan,
Jodipan, Talun, dan Klojen Lor. Daerah Kayutangan yang memang diperuntukkan
orang Eropa mempunyai ciri bangunan hanya terdapat di pinggir jalan besar,
berbentuk kubus dan mempunyai jalan kecil atau gang ke belakang untuk
memudahkan mengawasi lingkungan sekitar.
Bentuk penataan yang
demikian itu dimanfaatkan penduduk pribumi sebagai tempat bersandar di lingkungan
belakang pertokoan ramai untuk mendekatkan diri mencari peluang usaha (karyawan
yang bekerja di Jalan Kayutangan) yang dibutuhkan oleh kaum Eropa di pinggir
jalan. Kondisi tersebut akhirnya berubah sekaligus menjadi tempat tinggal untuk
menetap.
Dalam perkembangannya,
jalan-jalan kecil (gang) di belakang pertokoan Kayutangan itu mempunyai
aktivitas tradisi petan (mencari kutu rambut) bagi ibu-ibu.
Sekarang Kayutangan
lambat laun tertutupi dengan papan iklan dan bangunan pertokoannya berganti
kepemilikan yang beresiko untuk dibongkar dijadikan model pertokoan yang
modern. Padahal jika semua pihak mengerti untuk mengembalikan bentuk aslinya
dengan membuka façade iklan di depannya, bukan tidak mungkin predikat
Kayutangan sebagai komplek paling ramai dan paling bergengsi akan disandang
kembali. Semoga.
Balai Kota Malang
Dirancang Arsitek Dari Surabaya
Alon –alon asal kelakon
artinya perlahan tetapi pasti. Namun, jika alon-aloon, artinya justru sangat
berbeda. Aloon-aloon dari bahasa Belanda yang artinya lapangan terbuka. Di
Malang ada dua alun-alun yang berada di depan kantor bupati dan balai kota.
Bagaimana sejarahnya?
Zaman Hindu-Budha,
alun-alun telah dikenal (dalam kitab negara Kertagama, Red). Asal usul kata
dari kepercayaan masyarakat tani yang setiap kali ingin menggunakan tanah untuk
bercocok tanam, maka haruslah dibuat upacara minta izin kepada dewi tanah
dengan jalan membuat sebuah lapangan tanah sakral yang berbentuk persegi empat
dan sekarang dikenal masyarakat sebagai alun-alun.
Pada masa Kerajaan
Mataram, di alun-alun depan istana rutin diperuntukkan rakyat Mataram jika
ingin menghadap penguasa. Alun-alun pada masa itu sudah berfungsi sebagai pusat
administrative dan sosial budaya bagi penduduk pribumi.
Khusus Malang, Kantor
Residen Menghadap Ke Selatan
Masyarakat berdatangan
ke alun-alun untuk memenuhi panggilan atau memdengarkan pengumuman atau melihat
unjuk kekuatan berupa peragaan bala prajurit dari penguasa setempat. Fungsi
sosial budaya dapat dilihat dari kehidupan masyarakat dalam berinteraksi satu
sama lain, apakah dalam perdagangan, pertunjukan hiburan, atau olahraga.
Untuk memenuhi seluruh
aktivitas dan kegiatan tersebut, alun-alun hanya berupa hamparan lapangan
rumput yang memungkinkan berbagai aktivitas dapat dilakukan. Pada masa masuknya
agama Islam, seperti di alun-alun Malang, Masjid Jamik dibangun di sekitar
alun-alun.
Alun-alun juga
digunakan sebagai tempat kegiatan-kegiatan hari besar Islam termasuk sholat
Idul Fitri. Pada zaman pra-kolonial, baik kota pusat kerajaan di pedalaman atau
di pesisir, dibangun berdasar konsep tata ruang yang sama, yakni adanya
lapangan luas yang ditengahnya ditanam satu atau dua buah pohon beringin yang
disebut alun-alun (Santoso, 1984).
Sistem kaidah yang
dipakai orang Jawa disebut Hasta Brata dikenal juga dengan ungkapan Kiblat
Papat Limo Pancer, yakni keseluruhan ruang dibagi menjadi 4 atau 8 bagian.
Pengelompokan dibuat berdasar padanan hal positif negative, unsure air di timur
dan api ditempatkan di barat. Pusat duangan dipandang sebagai pusat dunia.
(Sartono Kartodirdjo, 1987).
Nah, itulah sebabnya
kenapa hampir semua pusat kota di Jawa mempunyai bentuk struktur yang hampir
sama, pendapa bupati, masjid jamik, penjara, dan kantor residen (bupati).
Sebelah selatan merupakan daerah sacral dan sebelah utara merupakan daerah
profane.
Karena itu, di semua
alun-alun, rumah bupati selalu diletakkan di selatan, kecuali di Malang yang
ditempatkan sebelah timur menghadap ke selatan. Tidak jelas alasannya, tapi
kemungkinan karena Malang dikenal daerah dengan pertahanan yang kuat. Sehingga
tidak perlu diawasi langsung oleh residen.
Alun-alun Malang
didirikan tahun 1882 (Kotapraja Malang, 1964). Jika sejarah itu benar, maka
jelas pembangunan alun-alun Malang untuk kepentingan Belanda yang menjadikan
alun-alun sebagai pusat kontrol. Hampir semua kegiatan produksi ekonomi
terkumpul di sana.
Belanda sengaja
menempatkan kantor bupati berhadapan dengan asisten residen (wakil bupati) yang
kantornya di selatan alun-alun (sekarang Kantor Perbendaharaan dan Kas Negera).
Dan, di sebelahnya masjid jamik yang berhadapan dengan penjara. Maksud setiap
saat residen dapat mengontrol kegiatan bupati dan penduduk yang selalu
berkumpul di pendapa bupati atau masjid jamik.
Karena alun-alun
dipandang sebagai pusat kegiatan kota, maka secara tidak langsung pola
pemukiman juga menyesuaikan dengan kondisi tersebut. Pemukiman orang Eropa di
sebelah barat daya (Talun, Tongan, Sawahan), orang China di sebelah tenggara
(Pecinan), Arab terletak di belakang Masjid (Kauman), dan pribumi di daerah
Kebalen, Temenggungan, Jodipan. Sekarang dengan berkembangnya pembangunan kota
Malang, keramaian kota menjadi terpecah.
Desain Balai Kota
Disayembarakan, Tak Ada Yang Menang
Nah, kata aloon-aloon
telah kita bahas arti, fungsi dan asal-usulnya. Terus sekarang, kenapa di
Malang terdapat dua alun-alun? Bukankah satu sudah cukup, karena luas tanah dan
perkembangan tahun 1900 masih memungkinkan untuk dioptimalkan.
Terus kalau dibilang
tidak cukup, ya tidak cukup. Alasannya, pertumbuhan Malang ke depan sebagai
contoh kota pusat pemerintahan dengan desain tata kota yang baik mempunyai satu
syarat, yakni lingkungan yang kondusif.
Di Malang dirasa tidak
memungkinkan lagi digabungkan pusat kota dengan pusat pemerintahan. Pusat kota
telah berkembang sedemikian cepat dengan bertumbuhnya pusat ekonomi, hiburan,
keagamaan dan sosial. Sedangkan pusat pemerintahan seiring dengan tumbuhnya
Kota Malang harus segera membangun gedung pusat pemerintahan satu atap (block
office).
Pada 26 April 1920
pihak Gemeente (Kotapraja) Malang memutuskan untuk membuat daerah pusat
pemerintahan baru yang sekarang kita kenal dengan alun-alun bunder atau
sekarang kita kenal dengan Alun-alun Tugu sesuai dengan bentuk tanah lapang
yang berbentuk bundar.
Sebelum tahun 1914
Malang masih merupakan daerah bagian dari Keresidenan Pasuruan dan kekuasaan
tertinggi di Malang adalah sisten residen. Setelah kota Malang dinaikkan
statusnya menjadi Gemeente (kotamadya) tanggal 1 April 1914, Kota Malang berhak
memerintah daerah sendiri dengan dipimpin oleh seorang burgemeester (wali
kota). Jabatan wali kota waktu itu dirangkap asisten residen sampai 1918. Baru
tahun 1919 Malang mempunyai wali kota pertana H.I Bussemaker.
Setelah selesai
dibangun alun-alun bundar, Malang masih belum mempunyai kantor pemerintahan
yang permanen dan berwibawa. Pada tanggal 26 April 1920 dibuat perencanaan
perluasan kota yang di dalamnya termasuk pembangunan gedung balai kota sebagai
tempat pemerintahan yang baru.
Gagasan perencanaan itu
timbul setelah wali kota mengadakan sayembara perencanaan Balai Kota Malang
dengan juri Ir.W.Lemei, Ph.N. Te Winkel dan Ir.A.Grunberg. Dari 22 peserta
lomba, tidak ada satupun yang memenuhi syarat.
Maka tanggal 14
Februari 1927 diputuskan oleh dewan kota agar rancangan yang paling baik
diadakan perubahan dan segera dilaksanakan pembangunan dengan anggaran
F.287.000. Rancangan yang akhirnya dipakai adalah karya H. F Horn dari Semarang
dengan motto Voor de Burgers van Malang (Untuk Warga Malang).
Pembangunan balai kota
dilaksanakan pada 1927-1929 dan mulai ditempati September 1929 oleh wali kota
kedua Ir.E.A Voorneman, Ruang wali kota dirancang sendiri oleh C.Citroen dari
Surabaya yang sampai sekarang masih terlihat megah.
Bangunan yang tetap
dipertahankan keasliannya ini menjadi bangunan cagar budaya di Malang yang
dirancang bersama-sama para arsitek terkenal di Jawa saat itu. Nah, keinginan
untuk mempunyai dua alun-alun telah kelakon meskipun dengan alon-alon. Menurut
saya lebih alon-alon asal kelakon, tapi kelakonnya dengan hasil yang perfect
dari pada ora alon-alon ora kelakon (cepat tapi tidak sesuai harapan). Tinggal
sekarang bagaimana kita memanfaatkan kelakon itu dengan cerdas.
Lahir Prematur, 5 Tahun
Kota Malang Tak Punya Wali Kota
Sejarah menyebutkan,
jika diibaratkan bayi, Kota Malang lahir secara prematur. Mengapa? Siapakah
orang Belanda yang pernah jadi Wali Kota Malang, tetapi sempat menggulirkan
refprmasi birokrasi?
Pada 2007 saya pernah
melakukan survei. Di antara pertanyaan yang saya berikan kepada para responden
adalah, apakah Anda mengetahui kapan hari jadinya Kota Malang? Hasilnya, 68
persen menjawab tahu, 26 persen menjawab tidak tahu, dan sisanya tidak
menjawab.
Dari yang menjawab
tahu, saya beri pertanyaan lagi, apakah Anda mengetahui kisah sejarah yang
melatarbelakangi mengapa Kota Malang ditetapkan hari jadinya pada 1 April?
Hasilnya, 94 persen menjawab tidak tahu, 5 persen menjawab tawur alias tahu tapi ngawur dan satu persen
menjawab dengan benar.
Berdasarkan hasil
survei tersebut, rasanya cukup relevan jika pada hari jadi Kota Malang yang
ke-98 ini seputar kisah sejarah yang melatarbelakanginya diungkap.
Benarkah bahwa kelahiran
Kota Malang itu disebut sebagai kelahiran yang prematur?
Dari catatan sejarah,
pada 1 April 1914 (ditetapkan sebagai
hari jadinya Kota Malang) itu sebenarnya Kota Malang belum matang untuk
dilahirkan. Sebab, saat itu belum mempunyai dewan kota, dan belum punya
burgemester (wali kota).
Bahkan sampai 1919,
belum punya kantor pemerintahan (balai kota) dan belum punya beberapa fasilitas
layaknya sebuah kota mandiri.
Ibarat kelahiran
seorang bayi, ibu bidan belum datang, belum ada popok dan pas suami keluar
kota. Bisa dibayangkan, bagaimana rumitnya persalinannya itu. Hal tersebut
terjadi karena Kawedanan Kotta (Kota Malang) terlalu cepat tumbuh berkembang
setelah ditetapkan menjadi a full blown town (kota yang dewasa) pada 1905.
Bahkan pertumbuhannya melebihi daerah lain di Jawa (Gedenkbook Gemeente, 1939).
Sehingga, mau tidak
mau, siap tidak siap, harus memisahkan diri dari Kabupaten Malang untuk
memerintah diri sendiri. Angka pertumbuhan penduduk, perpindahan penduduk, dan
pertumbuhan ekonominya, semua bergerak dengan cepat. Bank, hotel, tempat
hiburan (societeit), sekolah, rumah klinik muncul di beberapa tempat.
Hal ini dikhawatirkan
jika tidak segera dibentuk pemerintahan sendiri yang kredibel, maka akan
menjadi permasalahan sosial yang sulit diatasi di kemudian hari. Untuk itu
berdasar keputusan Instellings-Ordonnantie pada 1914 Staatsblad Nomor 297,
Malang ditetapkan menjadi gemeente (kotapraja) dan sampai sekarang diperingati
sebagai hari ulang tahun Kota Malang.
Pada awal 1914 Kota
Malang adalah bagian dari Kabupaten Malang di bawah jajahan pemerintah Belanda.
Kabupaten Malang mempunyai 8 distrik atau kawedanan. Yakni Kawedanan Karanglo,
Pakis, Gondanglegi, Penanggungan, Sengoro Antang (Ngantang), Turen, dan
Kawedanan Kotta.
Sedangkan Kabupaten
Malang sendiri menjadi bagian dari Karesidenan Pasuruan bersama Kabupaten
Bangil dan Kabupaten Pasuruan berdasar Staatsblad Nomor 6 Tahun 1819.
Pada saat itu Kawedanan
Kotta dibagi menjadi 13 kampoong, yakni Kidulpasar, Taloon (Talun), Kahooman
(Kauman), Leddok, Padeyan, Klojen, Lor Alun, Gadang, Tameengoonhan
(Temenggungan), Palleyan (Polean), Jodeepan (Jodipan), Kabalen dan Cooto Lawas
(Kota Lama).
Tahun 1800 setelah
kebangkrutan VOC, Kabupaten Malang masih dirasa merupakan wilayah yang kurang
menarik untuk dijadikan tempat tinggal. Pemerintah Belanda saat itu hanya
memfungsikannya sebagai daerah pertahanan (terugval basis) tanpa punya nilai
ekonomis yang tinggi.
Malang kemudian menjadi
primadona Belanda dan menjadikannya kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah
diberlakukannya Undang-Undang Gula (Suikerwet) dan Undang-Undang Agraria
(Agrarischewet) pada 1870 yang memberikan kebebasan masyarakat luas untuk dapat
menyewa lahan sampai dengan 75 tahun.
Saat itu sebagian besar
orang Belanda berbondong-bondong datang ke Malang untuk menanam kopi untuk kebutuhan ekspor ke Eropa
yang bernilai sangat tinggi dan suiker (gula tebu). Malang dianggap daerah yang
subur, mempunyai udara sejuk dan mempunyai akses jalan utama ke pelabuhan
Surabaya.
Dilanjutkan dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) pada tahun
1903 yang kemudian ditetapkan pada 1905 yang intinya memberikan hak
pemerintahan sendiri kepada karesidenan dan kabupaten (afdeling) yang
diperintah oleh dewan wilayah (kabupaten) dan dewan kotapradja (gemeenteraad).
Sedangkan ketua dewan
wilayah adalah seorang residen dan ketua dewan kotapradja adalah seorang
burgemeester (wali kota). Pada 1914 wali kota masih dirangkap Asisten Residen
F.L Broekveldt digantikan oleh J.J. Coert sampai 1919 dengan terpilihnya Mr.
H.I. Bussemaker sebaga Wali Kota Malang yang pertama.
Perlu diketahui, karena
prestasinya membangun Kotapraja Malang, H.I. Bussemaker setelah menjabat dua
periode (1919-1929) dipercaya menjadi Wlikota Surabaya pada 1 Maret 1929.
Sebenarnya untuk ukuran
kota yang baru berdiri, Kota Malang telah mencatat prestasi yang luar biasa.
Bayangkan, dalam 9 tahun sejak diberlakukannya beberapa undang-undang, Kota
Malang yang dulunya menjadi bagian dari Pasuruan, melejit menjadi kota terbesar
kedua di Jawa Timur.
Belum lagi
prestasi-prestasi di bidang lainnya. Tetapi ternyata perkembangan yang
sedemikian pesat itu tidak membuat pemerintah puas diri. Karena tingkat
kemandirian di beberapa bidang, proses penetapan dalam sistem pengambilan
keputusan masih tergantung pada pemerintah yang lebih tinggi.
Meskipun sama-sama
orang Belanda, Wali Kota Malang didukung 40.000 orang penduduk (33.500 pribumi,
2.500 Belanda, dan 4.000 China, dan Arab) sangat berani untuk mengajukan
beberapa hal yang kontroversial. Seperti melakukan reformasi pemerintahan
(bestuurs-hervormings-ordonnantic, 1922) dari sistem desentralisasi menjadi
dekonsentrasi yang memperoleh wewenang mengatur daerah lebih besar dan
kotapraja (gemeente) diganti dengan staadsgemeente.
Pada saat Pulau Jawa
dibagi menjadi 3 bagian, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur
(Provincie-Ordonnantic Tahun 1926), Kota Malang menjadi pemimpin ibu kota
Karesidenan, membawahi Kabupaten Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang.
Nah, kalau saat lahir
luasnya 15,03 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 40 ribu orang, sekarang
menjadi 110 kilometer persegi dengan jumlah 820.000 orang. Saatnya di ulang
tahun kali ini Kota Malang dapat membuktikan kelahiran prematur itu membuat
dewasa lebih cepat atau tidak sepat dewasa?
Empat Tahun
Pemerintahan Kota Ngurusi Ke Bantur
Kondisi Kota Malang
luluh lantak dalam peristiwa bumi hangus
tahun 1947, Pemerintah Kota Malang pun morat-marit dan pegawai dibagi dalam dua
kelompok. Dan, tahukah jika pemerintahan kota sempat pindah ke Bantur, Malang
Selatan. Mengapa itu dilakukan? Serta berapa bangunan yang hancur dalam
peristiwa 1947?
Kalau Bandung lautan
api ada lagunya, sedangkan Malang tidak punya. Jadi kurang dikenal atau kalah
ngetop dengan Bandung. Semua tahu pada 1945 Indonesia sudah merdeka, tapi masih
belum sepenuhnya diakui oleh dunia internasional.
Sehingga Belanda masih
mengklaim sebagai negara jajahannya setelah direbut Jepang tahun 1942. Dua
tahun setalah itu, Belanda memutuskan untuk kembali menguasai daerah Jatim,
khususnya Malang. Karena sesuai sifat dasarnya sebagai daerah pertahanan,
Malang harus dikuasai dulu baru kota lain.
Kota Paling Aman, Tokoh
Nasional Berkumpul Dalam Kongres KNI
Namun, peperangan yang
hanya memakan waktu beberapa hari itu mengubah wajah kota dan menorah tinta
sejarah yang demikian dalam. Detik-detik peristiwa tersebut sangat menegangkan. Jika skenarionya diadopsi
menjadi sebuah naskah film, maka akan menjadi film kolosal yang menegangkan.
Peristiwa tersebut
berawal pada 31 Juli 1947 sekitar pukul 03.00. Tentara Belanda melakukan
penyerangan yang sangat hebat di Kota Malang sampai akhirnya status Malang yang
sebelumnya kota merdeka, kembali menjadi kota pendudukan Belanda.
Peristiwa tersebut
dikenal dengan nama aksi militer atau Crash I. sebelum kedatangan pasukan
Belanda di Malang, hampir 1.000 bangunan Belanda dibumihanguskan termasuk Balai
Kota Malang (Bleed van en Stad) dan pemerintahan kota dipindah sementara ke
Palace Hotel (sekarang Hotel Pelangi).
Selanjutnya pegawai
dibagi menjadi dua golongan, golongan luar kota, dan golongan yang berjuang di
dalam kota. Setelah dirasa kondisi sangat tidak memungkinkan, sebagian besar
pindah ke Sumberpucung dan Gondanglegi. Pemerintahan kota akhirnya juga
dipindah di Bantur sampai terjadi Clash II pada 1948.
Pejuang yang tergabung
dalam tentara pelajar TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) banyak yang
gugur meninggalkan bekas ‘massagraf’ di
Jalan Salak (Jalan Pahlawan Trip). Rakyat sendiri mengungsi ke daerah selatan
(Tumpang, Wajak, Turen, Gondanglegi, Pakisaji, Kepanjen sampai Blitar) dan
daerah barat (Batu, Pujon, dan Ngantang) sampai penyerahan kedaulatan pada 27
Desember 1949.
Sebelumnya pada
September 1949 beberapa orang dari Malang Selatan, antara lain Letkol Dr.
Soedjono diundang ke Surabaya untuk menerima pengembalian daerah karesidenan
Malang termasuk Kota Malang. Pemerintahan Kota Malang kembali di gedung balai
kota pada tanggal 2 Maret 1950.
Sementara itu
ketentaraan dan kepolosian telah mendahului memasuki kota dan bermarkas di
Hotel Trio (bekas kantor dispenda depan Stasiun Kota Baru). Dari perintiwa itu
telah memunculkan nama-nama pahlawan lokal, antara lain Hamid Roesdi.
Hamid Roesdi, Pahlawan
Tiga Masa
Hamid Roesdi dikenang
sebagai sosok pahlawan tiga masa. Yakni, masa penjajahan Belanda, Jepang, dan
kemerdekaan yang sangat konsisten memperjuangkan hak-hak rakyat. Beliau lahir
pada Senin Pon 1911 di Desa Sumbermanjingkulon, Pagak, Kabupaten Malang.
Pada masa penjajahan
Belanda, dia sangat aktif di bidang kepanduan dan tergabung dalam “Pandu
Ansor”, karena beliau juga seorang guru agama sekaligus staf Partai NU.
Beberapa tahun kemudian bekerja di Malang sebagai sopir di Penjara Besar Malang
(LP Lowokwaru).
Pada 8 Maret 1942
Jepang memasuki Kota Malang dan mulai memerintahkan membuat barisan Heiho,
Seinedan, Keibodan, dan Djibakutai sekaligus melakukan tekanan fisik pada
rakyat. Melihat situasi itu, Hamid Roesdi keluar dari pekerjaannya dan memulai
membela nasib rakyat dengan menyusup ke PETA (Pembela Tanah Air) pada 1943 yang
dibentuk atas usul Gatot Mangkupraja. Dia ditugaskan di Malang dengan pangkat
Sudanco (Letnan I).
Selain berlatih
militer, dia juga sibuk mempersiapkan lascar rakyat untuk menentang Jepang.
Pada malam hari tanggal 3 September 1945 diumumkan daerah Karesidenan Surabaya
masuk wilayah RI, Hamid Roesdi mulai melucuti tentara Jepang di Malang. Pada
1946 menjabat sebagai perwira staf Divisi VII Suropati dengan pangkat mayor dan
bertempat tinggal sementara di Jalan Semeru (sekarang Bank Permata).
Dianggap berhasil
menangani pelucutan tentara Jepang, kamudian diangkat sebagai Komandan Balyon I
Resimen Infanteri 38 Jawa Barat dan menyelesaikan pertempuran di sana dengan
sukses. Sekembalinya dari Jawa Barat dinaikkan pangkatnya letnan colonel
menjadi komandan pertahanan daerah Malang di Pandaan-Pasuruan.
Pada Clash I 1947 Hamid
Roesdi dengan gigih memimpin pasukan mempertahankan Kota Malang dari Tentara
Belanda. Sebelum Belanda memasuki Pandaan, Hamid Roesdi berkeliling kota
menaiki jeep untuk memerintahkan seluruh rakyat membumihanguskan bangunan
Belanda.
Ketika Kota Malang
tidak dapat dipertahankan lagi, beliau membuat pertahanan di Bululawang dan
menyusun strategi merebut Malang kembali. Tengah malam, 8 Maret 1949, kondisi
perang sangat genting. Hamid Roesdi datang dan berpamitan pada istrinya, Siti
Fatimah. Itulah pertemuan terakhir dengan istrinya dan tidak pernah kembali
lagi selama-lamanya (biografi pahlawan Hamid Roesdi, Bintaldam V Brawijaya
1989).
Istilah Perwira Dan
Taruna Lahir Dari Malang
Selain pahlawan Hamid
Roesdi, peran penting dalam pertempuran 1947 adalah pasukan TRIP yang tergabung
dari beberapa sekolah. Pada saat pendudukan Jepang di Jawa Timur 1942, telah
banyak pelajar yang aktif mengikuti latihan perang-perangan di sekolah. Dan setelah
Jepang menyerah terjadi pelucutan senjata, lahirlah organisasi-organisasi
pelajar di Surabaya. Saat insiden bendera di Oranje Hotel 19 September 1945,
para pelajar mulai aktif dan mulai mengeluarkan perintah tempur. Pada 5 Oktober
1945 terbentuklah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pelajar, selanjutnya berubah
menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pelajar dengan komandan Mas Isman
dengan Batalyon 1.000-5.000 meliputi Surabaya, Mojokerto, Bojonegoro, Madiun,
Kediri, Blitar, Jember, dan Malang.
Pada tahun 1949
kekuasaan TRIP berpusat di Blitar. Kapten Sukamto ditunjuk sebagai local joint
committee united nation. Dan pada 1949-1950 TRIP Jawa Timur dimobilisir lewar
Brigade 17 (Kopex 17). Di malang terdapat monumen perjuangan TRIP untuk
menghormati tentara pelajar yang menjadi korban pertempuran di Jalan Salak
(Jalan Pahlawan TRIP) melawan Belanda pada 31 Juli 1947. Sekarang monumen
tersebut berdiri tegak di sekitar Jalan Ijen berdampingan dengan monumen Melati
yang berada tepat di poros Jalan Ijen dengan tinggi 7 meter dengan bunga Melati
di pundaknya.
Monumen ini adalah
bentuk penghargaan terhadap sekolah darurat awal pembentukan TKR (sekarang TNI)
di daerah yang diberi nama Sekolah Tentara Divisi VIII pada tahun 1946. Namun
Divisi VIII berganti nama menjadi Sekolah Tentara Divisi VII Suropati dengan
simbol melati.
Di Malang sekolah ini
lebih dikenal dengan nama Sekolah Kadet Malang, karena siswanya biasa disebut
dengan Kadet. Gagasan pendirian sekolah ini berawal dari Kepala Staf Operasi
Divisi VIII Mayor Mutakad Hurip setelah beliau pulang dari pertempuran di
Surabaya yang pertama atau sebelum meletus pertempuran kedua 10 November 1945.
Pembukaannya diumumkan
oleh Mayor Jendral Imam Sujai selaku komandan divisi VIII pada awal Novemnber
1945. Ditegaskan lulusan Sekolah tentara Divisi VII Malang sama dan sederajat
dengan akademi militer di Yogyakarta. Istilah Perwira pengganti Opsir dan
istilah Taruna pengganti Kadet diakui nasional juga terlahir dari Malang.
Karena Kota Malang dalam bidang istilah bahasa memang selangkah lebih maju.
Hal ini dapat dilihat
pada syair lagu mars kadet Malang yang berjudul “Mars Taruna Perwira”
(Moehkardi, 1979:192). Sekolah Tentara mula-mula menempati bekas gedung Meisjes
HBS, beberapa bulan kemudian pindah ke gedung Eropees che Lagere School
(Susteran Corjesu) dan setelah sekolah ini benar-benar tidak mampu menampung
peminat, akhirnya pindah ke bekas Asrama Marine Belanda di Jalan Andalas,
kompleks Angkatan Laut sampai tahun 1947.
Jika kita mengingat apa
yang telah terjadi pada 1947 memang telah mengubah wajah sejarah Kota Malang.
Betapa tidak, hampir 1.000 bangunan dihancurkan, semua infrastruktur harus
dimulai dari awal. Hampir semua sarana dan prasarana setelah tahun tersebut
tidak berfungsi.
Semua berfikir
sepertinya peperangan berlangsung terus tanpa ada habisnya dimulai 1942.
Ternyata banyak juga peristiwa membanggakan yang juga sangat memberikan dampak
positif kepada nama besar Kota Malang. Salah satu peristiwa penting yang
diselenggarakan di gedung Concordia Malang ini adalah Kongres KNI Pusat.
Rapat besar cikal bakal
DPR-RI tingkat nasional ini membuktikan bahwa Kota Malang sangat layak menjai
tempat diselenggarakannya even nasional itu terutama dari sisi keamanannya.
Mengingat saat itu hampir semua wilayah di Indonesia tidak terjamin keamanannya
karena pasukan Belanda menginginkan kembali daerah jajahannya.
Rapat besar ini
diadakan pada 25 Februari sampai 5 Maret 1947 membahas masalah-masalah penting
yang menjadi agenda perjuangan bangsa Indonesia. Saat itu dengan dihadiri tokoh-tokoh,
Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Edward FE Douwes Dekker (Dr. Setyabudi), Ki Hajar
Dewantoro (pendiri Taman Siswa), Dr. Soetomo, Panglima Soedirman, Bung Tomo dan
para pembesar wakil negara-negara di dunia.
Rakyat berkumpul dan
mengelu-elukan kehadiran para tokoh di depan Stasiun Kota Baru sampai di depan
gedung Corcodia ini. Jan Bouwer dari Nieuwsgier menulis di media
internasiional, “De ontvangst der buitenlandsche gasten was allervoorkomendst
en niets werd nagelaten om het hun zoo aangenaam mogelijk te maken”. Penerimaan
terhadap tamu luar negeri sangat manis dan segala sesuatu diusahakan untuk
menyenangkan mereka sedapat mungkin. Rupanya nama besar Kota Malang menjadi
daya tarik tersendiri sebagai tempat penyelenggaraan dengan dibuktikan jumlah tamu
yang diundang 1.000 orang, tapi tamu yang hadir lebih dari 1.500 orang.
Semua penginapan dan
hotel di Malang dan Batu penuh sesak, bahkan tidak jarang tamu peserta masih
ingin tinggal lebih lama setelah acara usai. Malang bumihangus adalah sisi
kelam sejarah Kota Malang yang mau tidak mau harus diketahui oleh masyarakat
sebagai bahan pembelajaran bahwa Malang tidak pernah menyerah dalam
mempertahankan kotanya.
Kota Malang selalu
bersatu meskipun terdiri dari beberapa suku, ras, dan pendidikan. Sekarang adakah
sifat-sifat dasar masyarakat dan Pemerintah Kota Malang yang sudah teruji
memenangkan semua pertempuran itu muncul kembali dalam membangun kotanya?
Jalan Ijen Kawasan
Paling Indah Bafgi Hindia Belanda
Perancanaan pembangunan
Kota Malang telah dirumuskan secara detail mulai tahun 1917 sampai 1929. Nah,
ada delapan tahapan dalam perencanaan Kota Malang. Termasuk perumahan pertama
yang berada di daerah Celaket hingga mengapa perumahan elit Jalan Ijen berada
di wilayah barat balai kota?
Sering kali terdengar
banyak slogan tentang Malang. Entah dari seorang guru yang sedang mengajar,
para pemandu wisata atau pejabat pemerintahan yang mengatakan Malang Kota
Bunga, Malang Kota Pendidikan, Malang Paris Van Java (mungkin maksudnya Jawa
Timur), Malang Kota Pegunungan, kota transit, kota pension dan banyak sebutan
lainnya yang membuat kita berpikir.
Gerbang Makam Eropa
Kini Tertutup SPBU
Sebenarnya slogan,
predikat atau sekarang dikenal dengan branding itu sengaja ditetapkan atau
karena ikut-ikutan ada orang iseng yang menyebut pertama diikuti yang lain.
Kemudian menjadi trend dan officially became a city image? Begitukah?
Bukan! Sama sekali
bukan, apalagi karena iseng. Semua sebutan di atas ada yang secara resmi
ditetapkan. Seperti Malang Kota Pendidikan, Industri, dan Pariwisata (dikenal
sebagai Tri Bina Cita) ditetapkan oleh DPRD gotong royong pada 1962. Sebutan
Kota Pegunungan pada 1937 pada saat Ir. Karsten mengikuti rencana desain Kota
Malang ke Paris sebagai kota dengan konsep pegunungan.
Sebutan kota pension
pada tahun 1900 setelah Belanda gagal uji coba kota pension di Tengger
(Pasuruan) untuk pensiunan Tentara Belanda. Ada juga yang memang berdasar pada
performa keindahan kota yang tampak terus menerus, sehingga mempengaruhi
publik, seperti sebutan de Bloemenstad (Kota Bunga) pada 1922 sebagai
konsekuensi dari kebijakan pemerintah Kotapraja Malang waktu itu yang
berkonsentrasi membangun semua taman-taman kota dengan bermacam-macam tanaman
yang membangun Cultuurschool (Sekolah Pertanian/SPMA) yang mempunyai tugas
menanamkan cinta tumbuhan pada masyarakat Malang.
Sebutan lain yang
menjadi dasar dari semua predikat Kota Malang adalah Malang Kota Indah. Malang
memang indah tanpa harus ditetapkan semua orang. Salah satu alasannya menurut
saya adalah sisi topografi. Kota Malang dikelilingi empat gunung berapi,
Semeru, Tengger, Kawi, dan Arjuno sekaligus dibelah oleh tiga sungai besar,
Brantas, Amprong, dan Bango.
Alas an lain tentunya
disebabkan leadership dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Banyak
sekali hubungan konsep, perencanaan, dan predikat yang dapat dipelajari. Tetapi
kali ini saya akan mencoba menggali langkah-langkah yang telah ditetapkan
pemerintah Kotapradja Malang dalam merencanakan pembangunan Kota Malang sekitar
tahun 1917 sampai 1929.
Kenapa? Karena masa itu
adalah masa pembangunan pondasi Kota Malang. Pondasi tersebut dibagi menjadi
delapan bagian yang masing-masing disebut dengan Bouwplan I sampai VIII.
Tahapan Perluasan Kota
Malang
Bouwplan I (rencana
perluasan pembangunan kota yang I) dengan luas 12.939 meter persegi.
Perkembangan kota yang cenderung ke arah utara sepanjang jalan utama
Malang-Surabaya harus segera menjadi bahan pertimbangan, Karena penyebaran
pertumbuhan kota akan tidak seimbang antara daerah utara, selatan, dan timur.
Untuk itu, pada 13
April 1916 gemeenteraad (dewan kota) memutuskan untuk membangun perumahan
pertama dimulai dari Celaket ke arah timur sampai Lapangan Rampal. Perumahan tersebut
diperuntukkan golongan orang Eropa yang diberi nama daerah Oranjebuurt (daerah
orange atau daerah dengan nama anggota keluarga kerajaan Belanda). Sekarang
dikenal dengan nama daerah jalan Pahlawan.
Nama-nama jalan yang
dipakai antara lain, Wilhelmina Straat (Jalan dr. Cipto), Juliana Straat (Jalan
R.A Kartini), Emma Straat (Jalan dr.Sutomo), Willem Straat (Jalan Diponegoro),
Maurits Straat (Jalan M.H Tamrin), Sophia Straat (Jalan Cokroaminoto).
Sedangkan bouwplan II
(rancana perluasan pembangunan kota yang II) seluas 15.547 meter persegi. Pada
pembahasan kelahiran Malang yang lalu saya menyebut dengan kelahiran prematur,
karena belum mempunyai fasilitas pemerintahan sendiri.
Sekarang pada
perencanaan perluasan kota kedua dasar pemikirannya adalah sebagai kota yang
telah memerintah daerahnya sendiri dan harus mempunyai daerah baru yang
diperuntukkan sebagai pusat pemerintahan. Sedangkan pusat pemerintahan yang
lama (alun-alun kota) sudah dirasakan terlalu padat.
Daerah baru yang ideal
adalah daerah dengan tanah yang luas berbentuk bundar yang kemudian dinamakan
JP Coen Plan (sekarang alun-alun Bunder). Pada 26 April 1920 Gemeente Malang
membuat rencana perluasan II yang dinamakan Gouverneur-Generaalbuurt (daerah
gubernur jendral) dengan nama daerah seperti , Daendels Boulevard (Jalan
Kartanegara), Van Onhoff St (Jl Gajahmada), Spellman St (Jl Majapahit),
Maetsuucker St (Jl Tumapel), Riebeeck St (Jl Kahuripan), Van Oudthoorn St (Jl
Brawijaya), Idenburg St (Jl Suropati), Van Den Bosch St (Jl Sultan Agung), Van
Heutz St (Jl Padjajaran), dan Van Der Capellen St (Jl Sriwijaya).
Setelah pembuatan dua
pusat kota, timbul kekhawatiran akan terjadi perpecahan. Karena itu dibuatkan
jalan penghubung di antara keduanya, yakni Maetsuucker Straat (sekarng Jalan
Tumapel).
Sedangkan bouwplan III
dengan luas 3.740 meter persegi. Salah satu syarat hunian yang baik adalah
adanya tempat pemakaman untuk orang Eropa yang hidup di Malang. Awalnya akan
ditempatkan di Bareng, kemudian Kauman dan Lowokwaru dan akhirnya diputuskan di
daerah Sukun dengan pertimbangan saat itu adalah daerah luar kota yang sangat
jarang penduduknya. Sampai sekarang gerbang makam Eropa di Sukun masih
kelihatan berdiri megah meskipun di depannya tertutupi oleh stasiun pompa bensin.
Kalau saat dibangun dasar
pertimbangannya adalah daerah pinggiran kota yang jarang penduduknya, sekarang
di sana merupakan salah satu daerah langganan macet karena kapasitas jalan
sudah tidak dapat menampung ledakan jumlah penduduk dan kendaraan bermotor.
Kemudian, apa kuburan itu
harus direlokasi lagi? Kemana? Sekarang dengan perkembangan kota dan kabupaten
yang pesat, sangat sulit untuk menemukan lahan luas untuk tempat pemakaman
tanpa bersinggungan dengan kepentingan warga setempat.
Sedangkan bouwplan IV
seluas 41.401 meter persegi. Rencana perluasan kota ini adalah program
penyeimbang dari bouwplan I dan bowplan II yang membangun perumahan bagi
kalangan Eropa dengan membangun perumahan kelas menengah ke bawah.
Perluasan ini berada di
antara sungai Brantas dan jalan sepanjang kea rah Surabaya yang pada awalnya
merupakan daerah kampong kecil yang terletak antara kampong Celaket dan
Lowokwaru. Penataan pemukiman ini terbilang teratur karena hampir semua
fasilitas terdapat di sana. Mulai tempat pemakaman 62.045 meter persegi (Samaan),
sekolah dan lapangan olahraga.
Pada perencanaan init
telah diterapkan konsep desainer Ir. Karsten yang menganjurkan jalur
pembangunan dengan pemandangan sungai yang indah ke arah barat laut. Sayang
konsep besar ini belum bisa dilaksanakan dengan baik karena saat itu Karsten
masih belum resmi menjadi penasehat Kotapradja Malang.
Bouwplan V seluas
16.768 meter persegi. Perluasan kali ini menurut saya adalah pembangunan
perluasan kota paling spektakuler. Bagaimana tidak, pembangunan Jalan Ijen dan
fasilitas stadion yang dibangun pada 1920 dijadikan model jalan paling indah
oleh Hindia Belanda pada saat itu dan masih ideal untuk model tata pemukiman
sampai 2012 ini.
Pemikiran membuat kota
satelit telah mulai dipikirkan. Jadi beberapa pendapat yang mengatakan bouwplan
V ini dibangun karena sudah tidak terdapat lagi lahan yang memenuhi syarat
adalah tidak sepenuhnya benar. Pengembangan kea rah timur terbentur oleh rel
kereta api dan tangsi militer yang ditempatkan di daerah Rampal. Ke arah
tenggara terhalang dengan kuburan China
(kuto bedah), ke selatan akan bertemu dengan emplasemen MSM (Malang Stoomtram
Maatschappij). Kalau ke utara permasalahan klasik akan muncul adalah kota akan
berkembang hanya pada poros jalan Malang-Surabaya yang notabene harus malah diredam
pertumbuhannya.
Ya. Jawabnya memang
hanya ada satu, Barat! Tetapi pilihan pengembangan ke arah barat tidak
semata-mata karena keterbatasan lahan pengembangan. Coba renungkan sebentar.
Untuk menunjukkan Malang Kota Pegunungan, dipersiapkan lahan di ujung Jalan
Semeru (sekarang dibangun Museum Brawijaya pada tahun 1967 dan diresmikan 4 Mei
1968 dengan rancangan arsitek Kap. CSI Ir. Soemadi).
Kemudian sepanjang
Jalan Semeru jika dilihat dari udara akan terlihat seperti tertarik garis lurus
dengan ending di depan stasiun kereta api melewati tepat di tengah alun-alun
bunder. Nah, kalau begitu masak sih bouwplan V ini dibangun karena keterbatasan
lahan?
Alasan yang lainnya,
unsur utama pembangunan yang terdiri atas Jalan Ijen, stadion dan pembuatan
jalan pemecah ke pusat kota, alun-alun bunder dan alun-alun kota (sekarang
Jalan Kawi) adalah solusi kebuntuan arus lalu lintas dan berusaha tetap
mempertahankan keramaian daerah yang lama. Sehingga dengan dibangunnya daerah
baru, daerah yang lama tetap akan merasa menjadi satu.
Sementara bouwplan VI
dibangun di atas lahan 220.901 meter persegi. Pergeseran alun-alun kota juga
terlihat dari gejala perluasan daerah pertokoan di daerah utara menuju ke arah Oro-Oro Dowo, Kayutangan dan Rampal. Lambat
laun perluasan tersebut akan meninggalkan daerah Pecinan yang bersejarah.
Hal ini tidak
dikehendaki oleh Karsten sebagai penasehat kota waktu itu. Gejala tersebut
dapat dicegah dengan memberikan perhubungan yang lebih baik pada bagian
tenggara kota untuk keperluan lainnya yang bermanfaat yang banyak mengurangi
tekanan lalu lintas di daerah baru.
Ide inilah yang
menyebabkan munculnya rancangan perluasan kota ke VI yang dikenal dengan daerah
Eilandenbuurt (daerah pulau-pulau). Seperti Lombok Weg, Java Weg, Soemba Weg,
Bawean Weg dan lain-lain. Dalam perkembangan pembangunan kota kali ini
konsentrasi pemerintah selain pada pembangunan daerah pulau-pulau, juga
pembangunan pasar.
Sebelum tahun 1914, di
Malang hanya ada satu pasar milik swasta di Pecinan. Dewan wilayah yang
berkedudukan di Pasuruan hendak membangun pasar di daerah Kayutangan, tetapi
akhirnya mengambil alih pasar Pecinan dan mulai dibangun pada 1920. Sekarang
kita kenal sebagai Pasar Besar.
Selanjutnya dibangun
pasar di kampong-kampong, Pasar Bunulrejo, Kebalen, dan Oro-Oro Dowo pada 1932,
Pasar Embong Brantas dan Lowokwaru tahun 1934, sedangkan Pasar Dinoyo dan Pasar
Blimbing dibangun Januari 1940.
Pada bouwplan VII yang
direncanakan di atas luas 252.948 meter persegi merupakan lanjutan dari bowplan
V, yaitu pembangunan kawasan Ijen yang lebih ditekankan pada pembangunan rumah
ukuran besar (villa). Sampai sekarang rumah-rumah di Jalan Ijen masih tetap
ukurannya. Hanya sayang desain arsitekturnya telah berubah sama sekali.
Satu-satunya tambahan pada tahap ini adalah pembangunan lokasi pacuan kuda
terbesar di Indonesia yang pada tahun 1938 pernah menjadi tuan rumah
diadakannya Kabore Kepanduan Sedunia.
Pada bouwplan VIII
dengan luas 179.820 meter persegi, zonanisasi industry telah dimulai pada
tahapan pembangunan ini. Malang telah dirasakan telah menjadi daerah yang
sangat diminati oleh investasi asing. Untuk itu perlu secepatnya dilakukan
penyediaan lahan untuk daerah industri.
Daerah itu berada di
wilayah yang berdekatan dengan jalur kereta api (Stasiun Kotalama) emplasemen
kereta dan trem untuk menunjang kegiatan industri. Perusahaan yang kali pertama
menempati adalah BPM dan Faroka. Selanjutnya kawasan industri diperluas di
daerah Blimbing.
Dengan perluasan
pembangunan kota I-VIII, Kota Malang bertambah luas 744.064 meter persegi dari
luas semula. Pada 1929 total luas kota menjadi 1882 hektar. Keindahan wajah
kota sangat tercermin mendasari semua pembangunan yang dilakukan. Sekarang luas
Kota Malang adalah 110,06 milimeter persegi. Nah, dengan seluas sekarang, masih
layakkah predikat Malang Kota Indah disandang Kota Malang?
Keamanan Tinggi,
Nominasi Ibukota RI
Sadarkah kita kalau
markas semua angkatan bersenjata berada di Malang? Kalau tidak percaya, coba
lihat: angkatan lau di jalan pulau-pulau, angkatan udara di Pakis, angkatan
darat di Rampal dan kepolisian sekrang di Ampeldento, Pakis. Kenapa tidak di
Pasuruan, atau di Kediri atau kota yang lain?
Keberadaan semua kantor
keamanan tersebut bukan kebetulan. Kalau dirunut dari sejarah, paling tidak
tahun 1614 ketika pertama kali ekspansi Sultan Agung Kerajaan Mataram ke Jawa
Timur, Malang telah membuktikan diri untuk yang pertama kali sebagai daerah
pertahanan yang dominan. Seluruh Jawa Timur tidak akan dapat ditaklukkan jika
tidak menguasai daerah Malang terlebih dahulu. Kenapa begitu? Setiap terjadi
penyerangan di Jawa Timur, setelah kota lain dikalahkan, semua pemimpin
daerahnya mengundurkan diri ke Malang untuk menyusun kekuatan kembali. Setelah
siap, mereka kembali mengambil alih lagi daerahnya.
Demikian selalu terjadi
terus menerus sampai akhirnya Sultan Mataram menyatakan ada satu daerah yang
selalu “malang” yang artinya menghalangi. Itulah salah satu sebab, pertama kali
daerah ini disebut daerah Malang, dan kemudian masa itu Malang dikenal sebagai
Terugval Basis (kota pertahanan terakhir). Akhirnya, segera bias dicetak,
daerah yang pertama kali harus dikuasai Mataram adalah daerah Malang pada tahun
1614, kemudian Pasuruan tahun 1616 dan Surabaya tahun 1625. Sedangkan sebutan
untuk Surabaya dan Pasuruan saat itu adalah center of force yang artinya kota
pemusatan kekuasaan. Jadi kesimpulannya, jika ingin menguasai Jawa Timur,
kuasai dulu Malang. Itulah sebabnya semua basis angkatan berada di Malang
sampai sekarang.
Nama-nama pahlawan
nasional yang pernah menjadikan Malang sebagai daerah pertahannya antara lain
Trunojoyo (tahun 1615) dan Pangeran Aria Wiranegara/Suropati (tahun 1686-1706).
Peristiwa penangkapan keduanya sangat dramatis seperti disebutkan dalam babad
willis dan babad-babad yang lain. Trunojoyo ingin mencapai home base perjuangan
terakhirnya, yaitu Madura, dihalangi oleh tentara Belanda dan pasukan Mataram
di Kediri sampai Lodoyo, Blitar. Di Surabaya dan Pasuruan ditunggu oleh pasukan
Makassar di bawah pimpinan Karaeng Galesung. Di sini peran Malang sebagai
Terugval Basis kembali dimanfaatkan untuk menetap sementara menyusun kekuatan.
Sayangnya, seperti ucap Bapak Proklamator kita, Ir. Soekarno:”jangan pernah
melupakan sejarah”, sangat diperhatikan oleh Belanda. Mereka belajar dari
kegagalan Sultan Agung yang akhirnya membuat kesimpulan, ada satu daerah yang
selalu menjadi tempat pertahanan terakhir: Malang. Tanpa susah payah menebak
tempat persembunyiannya, Belanda mengepung dan memukul mundur Trunojoyo sampai
daerah Ngantang hingga menemui ajalnya di perbukitan antara Ngantang dan Batu.
Demikian juga dengan perjuangan Suropati yang menjadikan Malang menjadi benteng
pertahanan terakhirnya. Perlu kita ketahui pembagian wilayah yang ada saat itu.
Bang Wetan (sekarang Jawa Timur), yang terdiri dari Pasuruan, Malang, Kediri
dan Blambangan (Banyuwangi) adalah wilayah di bawah Mataram. Hal ini dapat
diketahui dengan adanya surat instruksi Amangkurat II tanggal 2 Desember 1677
kepada bupati-bupatinya yang berbunyi, ”untuk bupati-bupati pesisir dan
daerah-daerah lainnya beserta kota-kota yang terletak di pedalaman mengenai
penjualan keluar gabah dan beras” instruksi tersebut diikuti dengan daftar
nama-nama kabupaten (G. P. Rouffaer, Nalatenschap, tanpa tahun) yang
menyebutkan Surabaya nomor 17 Pasuruan nomor 21 dan Malang nomor 49. Karena
masuk dalam daftar tersebut, berarti Malang adalah daerah Mataram yang tercakup
dalam Bang Wetan. Tetapi hal ini sedikit membingungkan karena dalam daftar
daerah milik VOC (J.K.J de Jonge & M.L van Deventer, 1862-1909) tentang
Dagh-register 1678, Malang dan Pasuruan belum termasuk di dalamnya, mungkinkah
beberapa daerah yang telah dikuasai Mataram tidak termasuk daerah yang dikuasai
oleh VOC? Tahun 1743 Bekanda menambah predikat Malang tidak hanya sebagai
Terugval Basis tetapi juga sebagai daerah Voedingsboden yang berarti tanah
pembinaan bagi gerakan anti-Belanda. Daerah-daerah lain yang kemudian juga berfungsi
menjadi daerah pertahanan setelah Malang telah diketahui, adalah kompleks Raung
Banyuwangi, Kompleks Tengger dan Pulau Nusabarong. Di sini kisah Bupati Malang
pertama (bukan versi Belanda) Raden Aria Malayakusuma dimulai, Wadena Siti
Ageng Mataram yang mengangkat dirinya menjadi Bupati Bang Wetan.
Ada beberapa
pertimbangan fakta Malang menjadi Terugval Basis: geopolitik, letak geografis
dan historis (mitos masyarakat). Geopolitik di sini dikaitkan dengan keberadaan
Sungai Brantas yang memanjang 252 km dari sumber sampai muara dengan luas
pengairannya yang mencapai 10.000 km. Demikian juga pusat aktivitas politiknya
yang berpindah-pindah, Kerajaan Kanjuruhan (sumber), dinasti Majapahit (muara).
Sedangkan pertimbangan
letak geografis adalah karena Malang dikelilingi empat gunung berapi: Semeru,
Kawi, Arjuno dan Tengger. Jadi untuk mencapainya diperlukan waktu dan kemampuan
yang prima, serta dibelah oleh tiga sungai besar, yakni Bango, Amprong, dan
Brantas. Sangat sulit untuk ditemukan kecuali dengan membangun jembatan
terlebih dahulu. Sedangkan faktor historis berarti mitos yang beredar tentang
Malang adalah daerah bumi yang sakral di mana tempat para roh leluhur raja-raja
Singosari dan Majapahit berada. Malang memang harus pdrmanen. Tahun 1767
setelah Bupati Malaya Kusumo tewas dalam pertempuran di daerah Malang selatan,
Belanda mendirikan benteng untuk memastikan bahwa daerah Malang harus terus
menerus diawasi.
Tahun 1800 Kongsi
Dagang Hindia Timur Belanda (VOC) dibubarkan dan pemerintahan langsung dipegang
oleh Gubernur Jendral H.W Daendels (1808-1811). Setelah itu jatuh ke tangan
Inggris di bawah Letnan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles (1811-1816).
Angka 14 memang angka yang keramat untuk Kota Malang. Kelahirannya 1914,
sedangkan tahun 1814, akibat konvensi London oleh Inggris semua wilayah
dikembalikan lagi ke Belanda, termasuk Malang. Jadi bisa dikatakan, tahun 1814
adalah kelahiran Kota Malang yang pertama di dunia internasional. Hanya bedanya
1814 dilahirkan oleh Inggris, sedangkan 1914 dilahirkan oleh Belanda. Perubahan
besar memang setelah di bawah kekuasaan Belanda yang kedua ini dengan
dibentuknya karesidenan di Pulau Jawa (staatblad 1819 no 16, surat keputusan
Komisaris Jendral 9 Januari 1819) sebanyak 20 buah, yaitu: Banten, Jakarta, Bogor,
Priangan, Krawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Kedu, Yogyakarta,
Surakarta, Jepara dan Juana, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Banyuwangi, Madura dan
Sumenep, Rembang dan Gresik. Keputusan tersebut langsung diikuti dengan
peraturan kewajiban, gelar dan pangkat para bupati (9 Mei 1820 no.6) yang
tertinggi bupati dengan gelar Raden Adipati, kemudian Raden Tumenggung, dan
paling bawah Raden Mas Ingebehi.
Di Kabupaten Malang,
saat itu dipimpin oleh Raden Tumenggung Kertonegoro, sedangkan Bupati Pasuruan
bergelar Raden Adipati, jadi jelas Bupati Malang pada masa itu adalah bupati
kelas dua, dengan perbandingan gaji Bupati Malang F. 4.800 setahun dan Bupati
Pasuruan F. 15.000 setahun.
Malang sebagai kota
pertahanan (Terugval Basis) ini pula yang membuat pernah menjadikan
pertimbangan untuk menjadi nominasi ibukota negara Indonesia setelah tahun
1945. Dalam laporan walikota tahun 1954 disebutkan, pada saat pemerintah pusat
berkehendak selekasnya mendirikan sebuah ibukota negara Republik Indonesia,
saat itu langsung diikuti dengan penegasan daftar beberapa kota yang dipilih.
Antara lain Djakarta, Bandung, Magelang, Bogor, dan Malang. Saya punya
keyakinan, pertimbangan saat itu memasukkan Kota Pradja Malang karena faktor
historis sebagai daerah dengan tingkat keamanan yang tinggi. Pemerintah Malang
langsung memerintahkan untuk membentuk kepanitiaan Persiapan dengan
mengumpulkan beberapa persyaratan untuk dapat ditunjuk sebagai ibukota negara.
Untuk menjadi satu ibukota negara ternyata tidak hanya berdasar pada faktor
keamanan saja, tetapi banyak sekali hal-hal lain yang mempengaruhi, seperti
faktor ekonomi, physis/meteorologist, sosial, teknis, histeris, geopolitik, dan
futuris (kondisi masa depan). Semoga pengelaman demi pengalaman ini menjadikan
Malang semakin matang dalam mengelola wilayahnya. Memang, mempelajari sejarah
bukan untuk berbangga diri pada masa lalu, tetapi lebih untuk memperkuat bekal
fondasi komitmen membangun masa depan yang bermanfaat. Setuju?
1936, Kota Malang Sudah
Punya Jalan Lingkar Luar
Mengapa Malang dulu
dikenal sebagai kota sejuk, kota taman, kota pegunungan, dan kota indah?
Semuanya karena konsep penataan kota yang dilakukan arsitek Herman Thomas Karsten. Bagaimana konsepnya?
Saat pemerintah akan
mengembangkan Kota Malang dengan cara perluasan lahan, ketika para spekulan
membeli tanah dan menjualnya kembali dengan harga tinggi, muncullah
permasalahan. Hal itu tidak hanya terjadi zaman sekarang. Sejak Malang pertama
akan mengembangkan diri, masalah tersebut sudah merebak.
Saat itu tanah masih
sangat-sangat luas dan harga tanah seperti tidak bernilai. Bahkan, karena masih
banyak “belukar”, di beberapa daerah seperti Oro-Oro Dowo dan Kedungkandang
masih sempat dijumpai binatang-binatang liar seperti macan rembang.
Meskipun telah
dilakukan perubahan dalam peraturan hukum, tetapi Gemeente Malang masih belum
puas dengan tingkat kemandirian yang dimilikinya. Mereka menghendaki adanya
reformasi pemerintahan menjadi dekonsentrasi. Dewan-dewan wilayah dibubarkan
karena jumlahnya terlalu besar dan dirasakan kontak anggota dengan penduduk
masih kurang.
Spekulan tanah muncul
saat pemerintah Gemeente Malang berubah status menjadi Staadsgemeente tahun
1926 dan memperoleh wewenang yang lebih besar (Stadsgemeente Ordonantie 1926).
Selanjutnya mereka bertanggung jawab kepada Provinsi Jawa Timur. Meskipun tanah
kosong masih sangat luas, tanah yang telah direncanakan untuk pengembangan kota
telah lebih dahulu dibeli spekulan tanah.
Melihat gejala tersebut,
Wali Kota saat itu Ir. E.A. Voorneman mengambil tindakan berdasar Bijblad I
1272 mengeluarkan suara rencana yang disebut Geraamteplan (Outline plan) yang
bertujuan menguasai tanah yang diperlukan untuk perluasan kota dengan biaya
pemerintahan pusat. Geraamteplan yang dibuat pemerintah Stadsgemeente Malang
pada dasarnya hanya untuk menguasai tanah untuk perluasan tanpa dibuat
breakdown lebih detail tentang rencana fungsi dan pemanfaatannya. Akibatnya,
rencana Geraamteplan Malang ditolak oleh pemerintah pusat.
Sebagai akibat dari
Algemeene Volkshuisvestingcongress (Kongres Perumahan Rakyat Umum) 1922, pada
1926 pemerintah pusat menetapkan perluasan dari Oemeentelijk Voorkeurrecht Op
Gouvernementsgronden (Peraturan Hak Preferensi Kotapraja atas Tanah Gubermen)
berupa bijblad (lampiran negara) nomor 11272 yang isinya tentang
pedoman-pedoman cara penguasaan tanah bagi perluasan tanah. Hal itu menjadi
basis bagi pembuatan Geraamteplan yang akan diajukan kepada pemerintah pusat
untuk bisa diterima, dipertimbangkan, atau ditolak. Setelah disetujui,
pemerintah pusat akan memberikan prioritas berdasar undang-undang bahwa tanah
yang dipergunakan untuk perluasan kota tidak boleh dijadikan hak milik atau
yang sampai sekarang kadang-kadang kita masih mendengar istilah eigendom.
Sekarang banyak pihak yang ingin memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat tentang
tanah eigendom itu. Mereka mengetahui daftar tanah-tanah tersebut dan
menakut-nakuti penghuni rumah yang notabene sudah tinggal turun-temurun untuk
bisa diambil alih dengan hanya diberi uang pesangon. Alasannya, daripada nanti
sewaktu-waktu tanah tersebut diambil oleh pemerintah. Ternyata rumah atau tanah
tersebut dijual kembali dengan harga yang berlipat-lipat.
Kemudian, bagaimana
rencana Staadsgemeente Malang setelah Geraamteplan-nya ditolak pemerintah
pusat? Langkah yang diambil adalah mencari ahli perencana kota untuk membuat
perencanaan tersebut. Dan, pilihannya jatuh kepada Ir. Herman Thomas Karsten,
yang sebelumnya sering diminta untuk membantu sebagai penasihat kota (adviseur)
Malang. Karsten lahir pada 22 April 1884 di Amsterdam. Dia arsitek yang sangat
brilian di Belanda. Hampir semua keluarganya professor di beberapa bidang.
Karsten lulus dari jurusan bangunan di sekolah tinggi teknik di Delf tahun 1909
dengan hasil cumlaude.
Karsten datang ke
Indonesia pada 1914, tepat kelahiran Kota Malang, atas undangan teman
sekolahnya, Henri Maclaine Pont, seorang arsitek yang banyak karyanya dapat
dijumpai sampai sekarang seperti gedung ITB, Museum Trowulan, dan Geraja Pohsarang
di Kediri. Karsten menikah dengan Soembinah Mangunrejo, seorang buruh tanam
tembakau di Lembah Dieng, Jawa Tengah. Selanjutnya, dia aktif sebagai pengurus
dewan kesenian dan ikut mendirikan perkulmpulan kesenian Jawa Sobokarti di
Semarang (De Java Institude). Tahun 1941, dia menjadi lektor luar biasa ITB
Bandung jurusan planologi dan berteman dengan tokoh penting saat itu seperti
Ir. Soekarno, Djojodiningrat, dan Radjiman.
Setelah masuknya Jepang
di Indonesia tahun 1942, Karsten ditangkap dan dimasukkan ke kamp penyiksaan
interneer Jepang. Dia berada di kamp penyiksaan sampai meninggal April 1945.
Sebelum meninggal,
setelah diangkat resmi olah Wali Kota Ir. E.A. Vooeneman Agustus 1929, Karsten
membuat perencanaan besar Kotapradja Malang. Dari sinilah, awal perencanaan
Kotamadya Malang dengan konsep totalbleed dimulai, kota sebagai satu kesatuan
dan terdiri atas faktor-faktor bangunan, jalan-jalan, rambu-rambu, penghijauan,
pematusan, dan pemandangan yang harus menyatu serta direncanakan dengan menyeluruh
dan berkesinambungan. Sekarang konsep tersebut dapat kita jumpai pada
penyusunan RUTRK (rencana umum tata ruang kota), kemudian RDTRK (rencana detail
tata ruang kota) yang akhirnya diterjemahkan dalam RTRK (rencana teknis ruang
kota).
Menurut dia, fondasi
pembangunan kota ada tiga. Yaitu perencanaan yang menyeluruh,
peraturan-peraturan administratif, dan dinas yang tegas mengurusi serta
mengawasinya. Kemudian tahun 1932, dibentuklah dinas ynag mengurusi pembangunan
kota (mungkin sekarang sama dengan dinas kimpraswil). Juga ada pembuatan
peraturan pembangunan kota (sekarang dikenal dengan IMB/izin mendirikan
bangunan). Pun ada bagian perencana kota (sekarang seperti bappeda).
Tugas pertama yang
harus dilakukan adalah pembuatan pengaturan tentang tipe bangunan dan
pembagiannya dalam lingkungan. Tipe yang bercorak kota terdiri atas tipe vila
(khusus untuk rumah di daerah Jalan Ijen), tipe rumah kecil, tipe rumah kampung
terbuka dan kampung tertutup , serta tipe fasilitas umum dan tipe pedesaan. Inilah kali pertama
pemerintah Belanda membuat peraturan pengelompokan jenis perumahan berdasar
etnis. Sebelumnya, tipe pembangunan selalu dikelompokkan berdasarkan jenis
pemukiman Eropa, China, Arab, dan penduduk biasa.
Tugas kedua adalah
perencanaan jalan yang menyeluruh dan terpadu dengan perkembangan pembangunan
kota. Karsten dangat memperhatikan pertumbuhan jumlah penduduk dalam
merencanakan pembangunan jalan dan jaringannya. Sebagai contoh, pada saat
tingkat pertumbuhan kendaraan saat itu di jalan utama (Kayutangan) akan
meningkat, segera dibangun outer ringroad (jalan lingkar luar) di sebelah timur
yang sekarang dikenal sebagai Jalan Panglima Sudirman. Jalan lingkar luar itu
melewati Rampal yang sebelumnya adalah jalan tembusan tak beraspal. Sedangkan
outer ringroad di sebelah barat adalah lingkar Jalan Ijen tembus Oro-Oro Dowo.
Sebagai ilustrasi,
jumlah penduduk Malang pada 1936 adalah 96.000 jiwa. Dengan jumlah sebesar iut,
Kota Malang sudah mempunyai outer ringroad. Sekarang, tahun 2012 dengan jumlah
penduduk lebih dari 800.000 jiwa, ringroad-nya di sebelah timur masih sama.
Dapat dibayangkan kemampuan jalan menahan pertumbuhan volume kendaraan yang
sangat tidak seimbang sehingga menyebabkan kemacetan yang panjang.
Konsep yang lain adalah
tentang pembuatan taman dan ruang terbuka. Dalam perencanaan sebelumnya, ruang
terbuka yang ada sebelumnya untuk olahraga dan untuk kepentingan militer.
Namun, Karsten juga seorang pecinta berat lingkungan. Dia pun membuat taman
untuk bersantai masyarakat umum. Dia mengatakan, jalan utama harus cukup lebar
dan harus diberi taman di setiap persimpangannya. Jalan tersebut harus
berirama, diatur dengan adanya sumbu-sumbu jalan datar dan titik klimaks. Hal
ini akan menjadi ciri kota yang indah. “Bukan saja indah dipandang mata, tetapi
juga nyaman dilewati,” ungkap Karsten. Konsep itulah yang kemudian diterapkan
pada penataan Ijen Boulevard yang berhasil ikut dalam Pameran Tata Kota Dunia
di Paris tahun 1937 dengan bantuan penasihat Kotamadya Bandung.
Untuk menunjukkan bahwa
Malang Kota pegunungan, diterapkan peraturan daerah untuk bangunan yang berada
di sepanjang Daendels Boulevard (Jalan Kertanegera) melewati JP Coen Plien
(Alun-alun Bunder), sampai tembus Jalan Semeru. Diatur keberadaaan dan
ketinggian bangunannya supaya tidak menutupi pemandangan ke arah Gunung Kawi.
Dan untuk menunjukkan pemandangan gunung pada setiap orang yang datang ke
Malang, tahun 1930 Stasiun Kota Baru yang dulunya punya pintu masuk menghadap
ke tangsi militer (Rampal) dipindah menghadap ke arah Alun-alun (Tugu) sampai
sekarang.
Sedangkan untuk menjaga
resapan dan suhu udara yang sejuk, dimanfaatkan keberadaan Sungai Brantas.
“Seluruh lembah Brantas yang ada di dalam kota akan dipakai sebagai taman.
Sungai Brantas bukan hanya berfungsi sebagai pembatas kota, tetapi harus juga
berfungsi sebagai taman kota,” ucap Karsten.
Melalui keberadaan
taman yang dihubungkan dengan jalan setapak di sepanjang Sungai Brantas, hampir
semua bangunan mempunyai teras yang menghadap ke Sungai Brantas. Sekarang kita
tahu, tidak satu pun bangunan yang mau menghadap ke arah sungai. Ini
menyebabkan sungai menjadi kumuh, ditempati oleh para tunawisma, dan tidak
menarik lagi sebagai fungsi semula: taman sekaligus paru-paru kota. Padahal,
sebutan Malang Kota sejuk, kota taman, atau kota indah berawal dari perencanaan
saat itu yang selalu membangun berkonsep lingkungan. Sekarang, perlu
dipertimbangkan lagi kemungkinan mengembalikan kasta taman dan sungai ke tempat
semula sebagai barometer keindahan dan kenyamanan Kota Malang.
Hotel Internasional
Kini Jadi Kantor Bank
Banyak bangunan
bersejarah di Kota Malang. Sebagian sudah berubah dan sebagian masih utuh. RSSA
itu dulunya benteng pertahanan Belanda. Selain itu, kenapa Toko Oen masih utuh
meski Malang mengalami peristiwa bumi hangus?
Lewat dari arah mana
jika ingin berkunjung ke Kota Malang? Jawabnya adalah dari arah utara. Kenapa?
Karena kalau ingin berkunjung ke rumah harus melalui pintu bukan lewat jendela
atau yang lain.
Terus, pintunya Malang
apa di utara? Ya, pintunya ada di Lawang! Lawang dalam Bahasa Jawa berarti
pintu. Entah pintu masuk atau pintu keluar, tapi memang lebih baik masuk lewat
Lawang.
Pintu masuk Malang dari
arah Surabaya inilah yang paling banyak dilalui daripada yang lainnya (Blitar,
Kediri atau Lumajang). Nah, sekarang kalau kita coba menelusuri keberadaan
bangunan heritage dari arah utara ke selatan, kita akan menemui beberapa sumber
data, baik tertulis maupun lisan. Kadang satu tempat mempunyai beberapa
keterangan yang berbeda sesuai dengan sumbernya sendiri-sendiri.
Yang ingin saya
sampaikan sekarang ini adalah salah satu sumber data yang berasal dari
literatur yang paling banyak dipergunakan dalam setiap penelitian sejarah
arsitekstur dan budaya. Saya akan mencoba dari mulai bangunan yang dibangun
sejak zaman Gemeente yang masih bisa kita lihat sampai sekarang.
LP Lowokwaru
Penjara ini telah
mengalami pergantian tiga masa, yakni masa Belanda, Jepang dan kemerdekaan.
Dibangun pada 1921 saat pemerintah Belanda membangun perumahan di daerah
Celaket, kemudian digunakan Jepang sebagai tempat penampungan para pejuang
diinterogasi.
Pada saat Belanda
memasuki Malang, tempat ini dibakar oleh para pejuang Malang sampai tinggal
tembok penyekatnya saja. Sampai sekarang LP Lowokwaru masih berfungsi sebagai
penjara meskipun lokasi perumahan penduduk sangat dekat sekali. Tempat ini pula
yang menjadi tempat awal karir pahlawan Hamid Roesdi sebagai sopir.
Klinik Lavalette
Di dekat lintasan
kereta api kawasan Celaket terdapat sebuah rumah sakit yang sejuk dan rimdang
dengan fasilitas yang modern bernama Rumah Sakit Lavalette. Kependekan dari
G.Ghr.Renardel De Lavalette, nama seorang pemilik klinik ini. Karena
kesetiaannya pada pengabdian kesehatan masyarakat, beliau bersama Yayasan
Stichting voor Malangsche Verleging pada 1918 mendirikan klinik kesehatan yang
sekarang berkembang menjadi rumah sakit di bawah pengelolaan PT. Perkebunan
Nusantara XI (Persero).
Sekolah Corjesu
Tepat pada 8 Februari
1900 keinginan Mgr. Staal (satu-satunya Uskup di Indonesia) untuk mendirikan
biara dan sekolah di Malang terwujud. Keinginan itu terwujud dengan dibelinya
tanah di Jalan Celaket milik Tuan Stenekers. Selanjutnya tanah tersebut pada 3
Maret 1900 dibangun oleh arsitek Westmass dari Surabaya. Mulai digunakan tahun
1930 untuk sekolah pendidikan guru dengan nama SPG Santo Agustinus.
Pada masa pendudukan
Jepang, sekolah ini dihentikan untuk keperluan Jepang. Selanjutnya pada bulan
November 1945 dijadikan markas sementara sekolah militer divisi VII Suropati
(sebelum pindah ke bekas asrama Marine Belanda di Jalan Andalas).
Pada saat Clash I pada
tanggal 30 Juli 1947, sekolah ini juga tidak luput dari pembakaran. Tanggal 8
April 1951 dimulai pembangunan kembali secara besar-besaran dan tanggal 15 Juli
1951 sekolah pendidikan guru Santo Agustinus ini berubah menjadi SMA Corjesu
dan diresmikan oleh Monseigneur pada 13 Januari 1955.
Sekolah Frateran
Tepat di pinggir Jalan
Celaket yang merupakan akses utama hampir seluruh kegiatan Belanda, dibangun
Fraterschool pada 1926 dengan arsitek biro arsitek Hulswit, Fermont & Ed,
Cuypers dari Batavia. Gedung yang sehari-hari berfungsi sebagai sekolah umum dan biara untuk para frater, berada di bawah
Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus Provinsi Indonesia dengan Bapak pendiri
Frater Mgr. Andreas Ignatius Schaepman. Diresmikan tanggal 13 Agustus 1873 di
Utrecht.
RSSA
Lokasi bangunan yang
paling bersejarah di Malang adalah lokasi sekarang berdiri RSSA.
Saiful Anwar. Karena
kali pertama Belanda memasuki Malang pada 1767, mereka membangun benteng
pertahanan atau Loge/Loji (Kelojian-Kelodjen) di tempat ini. Pembangunan ini
dilakukan dengan pertimbangan bahwa Sungai Brantas dapat dijadikan jalan keluar
jika terjadi penyerangan. Selanjutnya pada 1800-an, Belanda mulai bermukim di
sekitar alun-alun dan tempat ini dijadikan militair hospital (rumah sakit
Tentara Belanda) di daerah kompleks militer Belanda, mulai dari Lapangan
Rampal. Sekarang semua fasilitas tersebut digunakan untuk Kodim, Ajendam,
Rindam dan Kesdam. Pada 8 Maret 1942 Jendral Ter Poorten menyerahkan rumah
sakit ini kepada Jepang sampai terjadi pengeboman Hiroshoma 6 Agustus 1945.
Saat terjadi agresi
militer I 1947, setelah bertukar tempat dengan RS Sukun, oleh Pemerintah
Propinsi Jawa Timur digunakan sebagai rumah sakit umum dengan nama ‘Celaket’
dan berganti nama Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar pada 12 Nopember 1979 sampai
sekarang.
PLN
Kantor Electriciteit Mij
Aniem N. V. Malang atau Perusahaan Listrik Negara cabang Malang dibangun
sekitar 1930-an dengan cirri khas Nieuwe Biuwen yang beratap datar, gevel
horizontal dan volume bangunan berbentuk kubus.
Bangunan yang bagian
belakangnya lengsung menghadap ke Sungai Brantas ini mempunyai beberapa ruang
bawah tanah yang tertutup. Jika dilihat dari tahun pembangunan yang sezaman
dengan pembangunan Stasium Kota Baru, maka fungsi ruang-ruang bawah tanah
tersebut adalah dipakai sebagai tempat berlindung atau menyelamatkan alat-alat
vital listrik. Ruang itu dibuat untuk melindungi alat-alat dari Perang Dunia II
yang saat itu isu-nya berkembang cukup luas.
YMCA Hotel
Gedung yang saat ini
dipergunakan Bank Central Asia berada tepat di perempatan Jalan Basuki Rahmat
ini dibangun pada 1930 oleh biro arsitek Karel Bosh adalah Hotel Mabes dan
Malangsche Apotheek. Kemudian berganti nama Hotel YMCA, tidak diketahui dengan
jelas tahun berapa hotel tersebut berganti nama, tapi saat itu hotel ini adalah
satu-satunya hotel Jaringan Internasional di Malang.
Kantor Telkom
Kantor Telkom sekarang
ini dahulu adalah kantor pos, telegram dan telepon. Dibangun 8 Juli 1909 dan
pension pada 1929.
Sambungan telepon masih
dikelola oleh swasta, baru pada 1917 diserahkan ke pihak Kotapraja dengan jumlah
sambungan sebelumnya 275 menjadi 1.000 sambungan yang kebanyakan pemakainya
orang Eropa.
Sama dengan bangunan
Belanda yang lain, pada agresi militer I, hampir semua bangunan kolonial
Belanda dibakar, kantor Telkom ini juga tak luput dari amuk pejuang Malang
hingga tinggal tembok depannya saja.
Pada masa pendudukan
Belanda yang kali kedua ditandai dengan defile pasukan dan kendaraan berat,
kantor Telkom ini selalu menjadi panggung anjungan kehormatan.
Toko Oen
Sejak 1930 Toko Oen Ice
Cream Palace Patissier mulai dibuka dan menjadi satu-satunya restoran dari
keluarga China, ‘Oen’ dengan menyediakan menu khas Belanda saat itu. Karena
lokasinya berada tepat di depan Gedung Concordia (sekarang Sarinah) tempat
berkumpulnya semua warga Belanda di Malang, restoran ini sampai sekarang
dikenang sebagai tempat nostalgia warga Belanda yang wajib dikunjungi.
Pada saat Kongres KNIP
pada 25 Februari 1947, restoran ini menjadi tempat mangkal para peserta Kongres
se-Indonesia untuk beristirahat makan siang. Semasa pendudukan kembali Belanda
pada Juli 1947, tempat ini adalah salah satu yang selamat dari pembumihangusan.
Gereja Hati Kudus Yesus
Gereja ini didirikan
pada 1905 oleh arsitek MJ. Hulswit, murid sekolah Quelinus yang dikepalai oleh
PJH Cuypers. Dia arsitek Belanda ahli restorasi gereja-gereja Githic saat
Malang masih menjadi daerah bagian dari karesidenan Pasuruan.
Di dalam terdapat
prasasti yang ditulis dalam bahasa Belanda yang artinya “Gereja ini
dipersembahkan kepada Hati Kudus Yesus, didirikan berkat kemurahan hati yang
mulia Monseigneur E.S Luypen, dirancang oleh M.J Hulswit”. Dan semasa
penggembalaan yang terhormat room-romo GDA. Joncbloet dan FB. Meurs, pada tahun
1905 dilaksanakan oleh pemborong YM.Monseigneur Edmundus Sijbrandus Luypen,
Uskup Tituler dari Eropa, Vikaris Apostolik dari Batavia” (Indrakusuma, 1992).
Dua tower ciri khas
Gereja Gothic di kanan kiri pintu masuk. Saat pembangunan pertama pada 1910
belum ada, baru pada 17 Desember 1930 menara itu selesai dibangun dan tidak
berubah sampai sekarang.
Makam Mbah Honggo
Sayang makam ini
sekarang sudah tidak terawat bahkan cenderung terabaikan. Padahal kedua makam
tersebut adalah keturunan langsung trah Majapahit. Dalam buku leluhur R.
Koesnohadipranoto (Comptabel Ambtenaar) dan Serat Kekancingan Kasunan Surokarto
Hadiningrat Nomor 45/15/II 3 Feb 1933, turunan R.B Soeprapto, disebutkan bahwa
makam pertama adalah Kandjeng Pangeran Soero Adimerto (Kyai Ageng Peroet) dan
yang kedua adalah Pangeran Honggo Koesomo (Mbah Honggo).
Bagaimana makam
keturunan Majapahit bisa berada di sini? Tahun 1518 dan 1521 pada masa pemerintahan
Adipati Unus dari kerajaan Demak menyerang kerajaan Majapahit masa pemerintahan
Prabu Brawijaya (Bhre Pandan-Salas, Singhawikramawardhana). Serangan pasukan
Demak memaksa seluruh keluarga mundur ke Sengguruh yang selanjutnya mengungsi
ke Pulau Bali.
Prabu Brawijaya
mempunyai putra yang bernama Batoro Katong yang melarikan diri ke Ponorogo pada
1535 dan menjadi Adipati Ponorogo. Beberapa keturunan selanjutnya, Kandjeng
Soero Adimerto yang hidup pada masa perjuangan Pangeran Haryo (BPH) Diponegoro,
putra Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kandjeng Susuhunan Pakubuwana I tahun
1825.
Setelah peristiwa
penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jendral De Kock di Magelang pada 28 Maret
1830, semua Senopati (panglima perang) berpencar ke seluruh Jawa Timur dengan menggunakan
nama-nama samaran yang bertujuan menghilangkan jejak terhadap Belanda.
Pangeran Soero Adomerto
berganti nama Kyai Ageng Peroet, Pangeran Honggo Koesomo menjadi mbah Onggo,
Ulama Besar Kanjeng Kyai Zakaria II menjadi Mbah Djoego. Sedangkan keturunan di
bawahnya, Raden Mas Singhowiryo dimakamkan terpisah sekitar 50 meter dan
sekarang dikenal masyarakat dengan Kuburan Tandak.
Trem
Pada awal 1900-an
Malang Stoomtram Maatschappij (perusahaan pengelola trem Belanda) sudah
mengoperasikan trem (kereta api uap) di Malang. Kereta angkutan penumpang pada
tahun itu sudah menjadi angkutan yang populer di samping semua angkutan
tradisional.
Rel trem yang dahulu
terdapat di Blimbing, Lowokwaru, Celaket, Kayutangan dan melintas di
tengah-tengah alun-alun. Saat ini sudah tidak dapat dijumpai lagi karena
perkembangan lalu lintas yang sangat padat.
Sekarang trem hanya
digunakan di daerah pabrik gula untuk mengangkut tebu yang akan digiling dari
penampungan ke lokasi penggilingan di daerah Kebonagung. Padahal sekitar tahun
1910-an trem ini mempunyai banyak jurusan dari Singosari, Tumpang sampai
Kepanjen. Beberapa alat transportasi lainnya adalah oplet, bemo dan dokar.
Berdasar buku petunjuk
Kotapradja malang pada 1969, ada beberapa tempat parkir di Malang. Antara lain,
oplet jurusan Batu di pegadaian, jurusan Tumpang di boldy, jurusan Kepanjen di
jagalan Trem, jurusan Surabaya di Jalan Kabupaten, jurusan
Turen-Dampit-Gondanglegi-bululawang berada di Comboran. Sedangkan untuk bemo
dan demo berada di Kidul Pasar dan truk di Jalan Halmahera. Sedangkan tempat
parkir dokar berada di Kidul Dalem, Kotalama, Jagalan, Kauman, Halmahera dan
Kebalen.
Bank Indonesia
Javasche Bank (Bank
Indonesia) dirancang oleh biro arsitek Hulswit, Fermond & Ed. Cuypers dari
Batavia pada 1915. Hampir bersamaan dengan bangunan-bangunan gedung yang lain
di sekitar alun-alun, seperti Palace Hotel (Hotel Pelangi).
Tidak seperti bangunan
Javasche Bank yang lain di Indonesia yang menggunakan model neo-clasik dengan
kolom-kolom Yunani yang tinggi, di Malang terkesan lebih modern. Pada zaman
pendudukan Jepang pada 1943, diperintahkan pembatasan semua fasilitas Belanda,
termasuk sekolah-sekolah, sedangkan rakyat dilarang menyimpan dana di bank.
Satu-satunya bank yang
ditunjuk untuk menghimpun dana dari seluruh bank adalah Javasche Bank dengan
tujuan, Jepang dapat mengawasi ketat seluruh perekonomian dengan satu pintu.
Setelah dibumihanguskan
pada 1947 oleh pejuang-pejuang Kota Malang, dibangun kembali tanpa meninggalkan
bentuk dasar bangunan aslinya dengan diberi penambahan pagar besi yang
kelihatan sangat kokoh.
Bisko Rex-Ria
Salah satu contoh
bentuk design art deco yang sekarang lagi trend adalah desain gedung Bioskop
Rex. Sekarang telah dibongkar habis dan diganti gedung perkantoran sebuah bank.
Seandainya tetap
mempertahankan bentuk art deco yang sekarang banyak dijadikan acuan desain
modern dunia, pasti akan lebih banyak orang yang datang ke sana minimal untuk
foto bersama. Tapi itupun adalah salah satu bentuk promosi gratis. Sebelumnya
bioskop Rex berganti nama Ria.
Sepanjang jalan itu
terdapat banyak sekali gedung bioskop, antara lain Alhambra, Grand, Centrum,
Merdeka, Surya, Agung, Jaya, Ratna, Mulia, Kelud-Tenun dan di utara ada Irama.
Kantor Perbendaharaan
dan Kas Negara
Bangunan yang mempunyai
cirri atap segitiga ini dahulunya adalah kantor Karesidenan Malang yang
dibangun pada 1936 oleh arsitek Ir. M.B. Tideman. Sampai sekarang tidak
mengalami perubahan yang berarti.
Perkembangan arsitektur
Belanda saat itu banyak terpengaruh gaya kolonial awal modern di mana tiap
bangunan mempunyai pola simetri yang kuat. Sebelum tahun 1900 areal ini menjadi
pusat perdagangan dengan sistem barter, di mana semua penduduk dari pedalaman
berkumpul untuk menukarkan barang-barang untuk dibawanya.
Saat terjadi serbuan
Tentara Inggris di Surabaya yang disusul pendudukan Kota Surabaya oleh Tentara
belanda, pemerintah RI tingkat Provinsi jawa Timur dipindah ke Malang bertempat
di gedung bekas Karesidenan Malang ini.
Berhubung perpindahan
ini diberengi dengan pengungsian penduduk Surabaya ke Malang, maka dibutuhkan
banyak tempat untuk menampungnya, antara lain gedung sekolah Jalan Panderman.
Tahun 1947 saat Malang
bumihangus, gedung ini menjadi target untama pembakaran oleh pejuang Malang,
karena letaknya yang sangat strategis untuk digunakan kembali oleh Belanda.
Hotel Pelangi-Palace
Hotel
Hotel Pelangi awalnya
adalah Palace Hotel mempunyai ciri-ciri khas bangunan kolonial tahun 1900-1915,
yakni di tengah bangunan terdapat Double Tower yang menjulang tinggi untuk
pengawasan dan mempunyai dua blok di sisi kanan dan kiri yang menjorok ke
depan.
Dibangun tahun 1916,
sebelum menjadi hotel yang memiliki 126 kamar. Pada saat itu tempat ini memang
menjadi tempat favorit untuk didirikan hotel. Sekitar tahun 1850 diawali oleh
Hotel Malang dengan arsitektur rumah joglo tradisi Jawa yang sangat
tradisional, bahkan cenderung layaknya rumah tinggal besar (pendapa), kemudian
dibongkar dan dibangun Hotel Jansen dan Hotel Jansen masing-masing mempunyai 50
kamar.
Selanjutnya Palace
Hotel menjadi hotel terbesar di Malang pada 1947. Saat terjadi Clash I hotel
ini dijadikan tempat pemerintah Kota Malang sementara. Bersamaan dengan
dibakarnya gedung Balai Kota Malang , pegawai beserta sebagian penduduk
mengungsi ke daerah di sekitar Malang Selatan. Sampai saat ini di dalamnya
masih terjaga keasliannya, bentuk lantai, plafon, dan dinding bergambarkan
Belanda yang dibuat masa pemerintahan Belanda masih terlihat mengkilap.
Masjid Jamik
Masjid Jamik Malang
dibangun 1875. Sedang tanah lapang di depannya 7 tahun kemudian, tahun 1882,
dibangun alun-alun Malang (50 tahun Kotapradja Malang, 1964). Masjid ini
termasuk 3 masjid “beryoni” di Jawa Timur selain Masjid Ampel Surabaya dan
Masjid Jamik Pasuruan.
Masjid ini mempunyai
tiang di bagian dalam sebanyak 20 buah, sebagai simbol 20 sifat wajib Alloh SWT
dan 4 tiang besar di depan sebagai simbol 4 sifat wajib Nabi Muhammad SAW.
Tiang-tiang ini adalah
tempat yang utama untuk memanjatkan doa kepada Alloh SWT. “Saat saya kecil, KH.
Zaini Amin pernah bercerita tentang keutamaan tiang-tiang ini, karena saat
dibangunnya para pendiri berpuasa dengan khusuk, sampai-sampai setelah salat
Jumat para sesepuh masjid berebut untuk bersandar di tiang-tiang ini sambil
memanjatkan pujian kepada Alloh SWT” (saat saya mewawancarai KH.Kamilun, ketua
Yayasan Masjid Jamik Malang).
Dulu di dalam masjid
ini terdapat prasasti yang berisi peresmian perluasan masjid pada 15 Maret 1903
dan selesai 13 September 1903. Prasasti itu ditandatangani langsung oleh Bupati
Malang IV Raden Bagoes Mohammad Sarib yang menjadi Bupati Malang dengan gelar
Raden Adipati Ario Soerto Adiningrat Ridder der Officer Oranje Nassau, menjabat
tahun 1898 sampai 1934.
Perluasan tahap II
tahun 1950, tahap III tahun 1980 dan tahap IV tahun 1992 dan pada tahun 2002
atas anjuran arsitek Perancis yang mengamati langsung kondisi bangunan, masjid
ini diperkuat sekaligus diperindah sampai sekarang.
Bentuk dan ornamen
masjid tetap dipertahankan “Njawani” sampai sekarang. Di mana dapat dilihat
bentuk pintu, hiasan tombak, dan ukiran-ukiran dari besi baja sejak kali
pertama dibangun.
Di belakang masjid
terdapat makam beberapa kerabat bupati yang sekarang dipindah ke Makam para
Bupati di Gribig. Salah satunya kemungkinan besar makam Kyai Tumenggoeng
Mertonegoro yang berganti nama Kijaie Toemenggoeng Nitienegoro setelah menjadi
Bupati Malang I periode sebelum kolonial
(tahun 1740). “Kandjeng Nitinegoro sedo pesarehan ing wingking Masjid
Jamek, Aloon-aloon Malang” (surat Eyang Mlojokoesomo/ Bupati Malang II kepada
cucunya Soemowirjo, 1929).
Sedangkan bupati
keempat pra kolonial atau periode pertama masa colonial, R.Toemenggoeng Ario
Notodiningrat meninggal tahun 1884 dimakam di Gribig (kitab Nitieadiningrat
1914).
Gereja GPIB Immanuel
Di perempatan alun-alun
utara tahun 1861 berdiri sebuah Gereja Protestan kuno bersebelahan dengan
Masjid Jamik. Karena bentuknya sangat sederhana oleh Belanda dibongkar dan
dibangun kembali dengan gaya Gereja Gothic tahun 1912.
Pada waktu itu halaman
depan masih hijau dan luas. Seiring perkembangan kota yang pesat dan lokasinya
yang tepat di persimpangan jalan utama, maka halaman depan gereja ini menjadi
semakin sempit. Sedangkan bentuk luar dan dalam gereja persis sama dengan awal
dibangunnya.
Gedung Flora-Gedung
Wijaya Kusuma
Flora Cinema dibangun
pada 1928 dengan fasilitas Biljart Room, barber shop dan toko-toko makanan.
Setelah kemerdekaan, gedung ini berganti nama Wijaya Kusuma dan menjadi gedung
kesian yang paling representatif di Malang
dengan fasilitas panggung utama dan dua panggung samping serta balkon
untuk penonton dan akustik ruang, yang sangat indah.
Banyak grup-grup besar
tanah air pernah bahkan mengawali kariernya dari sini, seperti Srimulat,
Lokaria, dan Ketoprak Siswobudoyo.masih banyak gedung kolonial dan tradisional
yang sangat bersejarah, yang patut kita ketahui sekaligus kita lestarikan
keberadaannya, saya sangat berharap bangunan-bangunan tersebut dapat
terlindungi sesuai dengan konvensi UNESCO tentang World Heritage Site. Yang
bisa melindungi adalah masyarakat (pemilik) dan peraturan (pemerintah).
Jika keduanya mempunyai
komitmen menjaga dengan jelas dan berkelanjutan, maka di masa depan, Insyaalloh
akan terjaga demi kepentingan anak cucu kita lima puluh tahun lagi.
Jati Diri Di Sosok Ken
Dedes dan Topeng Malang
Sebuah daerah dikenal
karena ada cirri pembeda dengan daerah lain. Tersebutlah kata jati diri. Topeng
Malangdan Ken Dedes sebagai ibu para raja adalah sebagian kecil jati diri
Malang.
Pada saat rapat program
kerja nasional 2012 di Jawa Timur tentang pembentukan travel pattern (pola
perjalanan wisata), setiap kota di Jawa Timur mengajukan usul yang beragam.
Tetapi, usul beragam itu harus membentuk satu linkage system yang komprehensif.
Pada prinsipnya tourist
attraction (objek wisata) tidak dapat dipisahkan oleh batas administrasi
territorial. Seperti Gunung Bromo, wisatawan tidak akan terlalu peduli gunung
tersebut masuk wilayah Malang, Pasuruan, Probolinggo atau Lumajang. Yang mereka
pedulikan, bagaimana dapat menuju ke sana dengan nyaman dan aman.
Tetapi setiap wilayah
memang harus mempunyai diferensiasi guna distinguisged brand identification
yang kadang bukan muncul dari slogan yang digembar-gemborkan, tetapi pengamatan
jujur dari tourist’s eyes.
Demikian juga Malang
(bukan wilayah administrative Kota Malang, kabupaten atau Batu).
Tapi Malang sebagai
satu kesatuan territorial image yang mempunyai icon melekat sejak dikunjungi
dan ditulis dalam berbagai expedition (Raffles, 1826). Yakni, Singhasari,
Kanjuruhan, Kendedes dan Topeng Malangan.
Pasti semua orang
Malang sudah paham betul, siapa Kendedes, Kerajaan Singhasari, Kanjuruhan, atau
topeng Malangan. Tetapi tidak ada salahnyakali ini kita bahas sekali lagi untuk
me-refresh ingatan tentang nenek moyang yang telah ikut membentuk siapa kita
sekarang,
Pada zaman prasejarah,
secara geologis dataran tinggi Malang berawal dari endapan lava beku dab
lempeng hitam bekas aliran lava yang membentuk suatu danau purba. Danau itu
selanjutnya berubah menjadi datran tinggi Malang (J.Mohr, dalam Mustopo, 2002).
Masa peradaban
perunggu-besi dan megalithik di Malang sekitar abad VI sebelum Masehi-telah
lahir seni bangun dan seni patung. Peninggalan Megalithik bisa kita lihat di
Watu Gong, Desa Dinoyo (Blasius, 2009) yang berbentuk seperti kenong (alat
musik gamelan) dan mirip lesung (stone mortar).
Menurut penelitian Dr.
Williem, Batu merupakan umpak dari bangunan prasejarah. Setelah sekian lama
berselang, keberadaan Malang sebagai satu daerah, muncul kembali dengan adanya
Candi Badut. Candi Badut adalah salah satu candi tertua di Jawa Timur.
Gaya bangunannya
sejenis dengan candi-candi di Dieng Jawa Tengah. Candi yang berada di Barat
Laut Kota Malang ini terletak di Desa Badut dan ditemukan secara tidak sengaja
pada tahun 1921 oleh Mr.Maurenbrecher. Pada waktu itu, ia menjabat sebagai
kontrolir BB (pamong praja jaman kolonial).
Peninggalan dan
penyelidikan dilakukan pada tahun 1925 dan selesai tahun 1926. Candi yang
mempunyai ukuran kamar induk 3,35 meter dan 3,67 meter serta mempunyai ragam
hias Kala Makara di pintu gerbang, Kinnara dan Kinnari pada pintu tangga, serta
ragam hias bunga-bungaan (floralistie ornament) di dinding candi, seharusnya
terdapat arca Durga Mahisasuramardini di utara. Selain itu juga harus ada arca
Ciwa Guru di selatan, Ganeca di timur dan Lingga Yoni di pusat kamar candi.
Namun, sekarang yang
ada hanya arca Lingga Yoni. Meski masih belum jelas Lingga Yoni di sini apakah
Lingga Yoni yang disebutkan dalam prasasti Dinoyo 682 Caka. Prasasti Dinoyo
sebelum dibawa ke museum Nasional di Jakarta.
Arca itu ditulis dalam
bahasa Sansekerta dengan huruf jawa kuno berangka tahun dalam bentuk Candra
Sangkala. Bunyinya Natana Vasurasa yang berarti 682 Caka atau 760 M. Prasasti
ini menyebutkan adanya raja bernama Devasimha yang mempunyai putra Gajayana,
Kerajaan Kanjuruhan dan mempunyai cucu bernama Uttijana akan mengganti arca
Agastya yang terbuat dari Kayu Cendana dengan arca yang terbuat dari batu hitam
dan membuat candi (kemungkinan candi Badut) yang indah.
Nama Badut sendiri
berasal dari nama Liswa, dalam bahasa Sansekerta berarti pelawak (Badut).
Terus, siapa Ken Dedes
itu? Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa Ken Dedes adalah istri dari Raja
Singhasari Sang Amurwabhumi atau populer dengan nama Ken Arok. Ken Dedes juga
terkenal dengan kecantikannya, sehingga banyak pihak menganggap arca cantik
Prajnaparamitha ini adalah identifikasi perwujudan dari putri Ken Dedes.
Memang disebutkan Ken
Dedes adalah penganut agama Budha Tantrayana yang taat dan pandai ilmu agama
sehingga pendapat tersebut tidaklah terlalu berlebihan. Terlebih mengacu pada
ketaatan Dewi Prajnaparamitha, yang merupakan salah satu Dewi dalam cerita
Budha.
Penemuan arca yang
aslinya terdapat di kompleks Candi Singhasari dan sekarang disimpan di Museum
Nasional Jakarta-membuktikan bahwa Malang merupakan pusat kerajaan besar di
wilayah Jawa. Tentunya yang menguasai daerah sekitarnya (Prasasti Mula-Malurung
1255 M).
Selain secara
arkeologis ditemukan pathirthan (pemandian) yang kini disebut sendang Ken Dedes
di Singosari, juga terdapat situs di daerah Polowijen (Ponowijian). Daerah
Polowijen juga merupakan tempat tinggal seorang biksuni Budha Tentrayana, tak
lain adalah Ken Dedes dan orang tuanya Mpu Parwa.
Ken Dedes dalam kitab
Nagara Kertagama disebut sebagai wanita Nareswari, seorang wanita yang akan
menurunkan raja-raja. Siapapun yang menikahinya akan menjadi raja. Itulah
sebabnya Ken Arok berusaha keras untuk menikahinya meskipun harus mengorbankan
banyak nyawa.
Keturunan Ken Dedes antara
lain Raja Anusapati (meninggal 1248 M dan sosoknya dicandikan di Candi Kidal),
Panji Tohjaya (meninggal 1250 M), Rangga Wuni (Abhiseka Wisnuwardhana meninggal
tahun 1270 M dan dicandikan di Candi Jago), Mahesa Campaka (Bhatara
Narasingamurti), serta Kertanegara (1254 M).
Duplikat patung Ken
Dedes ditempatkan di sebelah kiri pintu masuk Kota Malang, bertujuan agar para
pendatang yang memasuki Kota Malang mengetahui bahwa raja-raja besar di Jawa
adalah keturunan orang Malang.
Selanjutnya, image yang
terbentuk dari Malang lainnya adalah topeng Malang. Menurut saya, jika sekarang
ditanya apa ikon yang menjadi ciri khas Malang, pasti 75 persen orang Malang
menjawab Topeng Malang. Sebelum semua bersuara topeng Malang harus
dilestarikan, diselamatkan, bahkan dikembangkan, ada baiknya mencoba untuk
mengetahui terlebih dahulu apa, siapa, dan bagaimana topeng Malang itu.
Saya ada sedikit data
yang saya rangkum dengan wawancara dan studi literatur sejak tahun 1998. Topeng
adalah penutup wajah dalam pertunjukan wayang topeng yang bermakna lambang
jasmani atau badan yang tampak (Zoetmulder, SY 1989:213/Serat Centini V,
347-349).
Wayang Topeng Malang
mempunyai ciri khas di bidang kesenirupaan, tata busana, iringan musik gamelan
dan cerita yang dimainkan (Supriyanto, 2004:12). Cerita Topeng Malang yang
digunakan penari, pengukir dan Ki Dalang bersumber pada ragam sastra lisan
cerita Panji yang ruang, waktu dan suasananya mengacu pada peristiwa sejarah
pada jaman Singhasari, Kediri, Daha dan Tanah Seberang Jawa (Tanah Sebrang)
jaman Prabu Airlangga (1019-1041 M) dan Prabu Jayabaya (1130-1157 M).
Dalam Kitab Negara
Kertagama, pupuh 91 baik 4 juga sudha dikenal dari topeng , yang
menyebutkan:”Bahwa para pembesar ingin beliau menari topeng. Ya jawab beliau”.
Cerita panji sendiri ada beberapa versi antara lain : Hikayat Panji Kuda
Semirang, Panji Semirang, Galuh Digantung, Cekel Wanengpati, Misa Taman Jayeng
kusuma, Dewa Asmara Jaya, Undakan Panurat dan Panji Kamboja (Poerbatjaraka,
1968).
Perkembangan topeng di
Malang menurut beberapa sumber berawal sekitar tahun 1898, saat Kabupaten
Malang dipimpin Raden Bagoes Mohamad Sarib yang bergelar Raden Adipati Ario
Soerio Adiningrat.
Menurut Ridder der
Officer oranje Nassau, terdapat dua orang dalam satu perguruan topeng, yaitu
mbah Reni (Polowijen) dan mbah Gurawan (Sumberpucung). Tjondro alias Mbah Reni
adalah abdi dalem Kabupaten Malang yang dikenal sebagai dalang, penari dan pengrajin
topeng.
Semasa beliau (Raden
Adipati Ario Soerio Adiningrat), grup topeng yang terkenal berasal dari
Pusangsanga Kawedanan Tumpang. Selain itu ada beberapa kumpulan wayang topeng
seperti, Mbah Tirtowinoto (Jabung), Mbah Rusman dan Mbah Sapuadi (Precet).
Lalu, ada kumpulan di
Desa Wangkal, Glagah Dowo, Gubug Klakah, Dhuwet, Dhumpul, Jabung, Senggreng,
Kademangan, yang selanjutnya diteruskan oleh Rakhim, Rasimun, Gimun, dan
Djakimin (Supriyanto-Adi Pramono, 1997). Sedangkan Mbah Gurawan mempunyai murid
Mbah Marwan, buyut dari Mbah Karimun, cikal bakal topeng di Kedung Monggo,
Pakisaji Kabupaten Malang.
Mbah Karimun pada waktu
kecil bernama Paryo. Karena sering sakit-sakitan, namanya diganti menjadi
Karimun. Mbah Karimun lahir tahun 1910. Orang tuanya, Kimun dari Ponorogo, dan
Ibu Jamik dari Bangil, Pasuruan, tinggal di Desa Bangelan, Pakis.
Topeng Kedung Monggo
sendiri berawal dari kakek Mbah Karimun yang bernama Ki Serun, seorang warok
asli Ponorogo yang terpaksa mengungsi ke Malang karena dikejar oleh tentara
Belanda. Dia lalu menetap sebagai Kamituwo di Kedung Monggo setelah berganti
nama Ki Semun. Dia tinggal beserta istrinya, Mbah Murinah dan Mbah Waginah.
Mulai tahun 1933
mendirikan sanggar bernama Pendowo Limo. Tahun 1978 berganti nama sanggar
Asmoro Bangun yang berarti Cinta Kebaikan. Sejak saat itu Mbah Karimun mengajar
di berbagai sanggar, antara lain di Desa Genengan, Kaseran, Sutojayan,
Wonokerto, Palakan, Plaosan, Kranggan, Nglowok, dan Ngajum (Karimun,
2000-2007).
Lakon Induk yang sangat
populer adalah lakon “Rabine Panji”. Lakon ini mengisahkan Perkawinan Panji
Reni dengan tokoh utama Panji Inukertapati, Dewi Anggraeni dan Dewi Sekertaji.
Jumlah Topeng Malang
yang asli adalah 6 buah, yaitu Klono, Bapang, Panji, Sekartaji, Gunungsari, dan
Ragil Kuning. Enam atau Nem berarti nemen olehe ngudi berkembang menjadi 40,
selanjynta 140 jenis. Sedangkan ragam hias pada topeng, antara lain ragam hias
urna (pada bagian kening), ragam hias dahi (menunjukkan sifat kebangsawanan,
seperti melati, kantil, dan teratai), dan ragam hias jamang (irah-irahan, tutup
kepala).
Warna pada topeng
menunjukkan karakter tokoh dalam dunia pewayangan. Warna putih menggambarkan
jujur, suci dan berbudi luhur. Lalu kuning menggambarkan kemuliaan, hijau
menggambarkan watak satria dan warna merah untuk raksasa, menggambarkan angkara
murka (Sunari, 2002).
Pembukaan wayang topeng
khusus di Tumpang menggunakan tari pembuka Beskalan atau Srimpi Limo. Sedangkan
di Malang, sekarang banyak sekali versi untuk berbagai kepentingan.
Dengan sedikit data
yang sederhana ini, perlu langkah untuk melestarikannya dengan tepat sasaran.
Topeng tidak hanya dicetak dari plastik tanpa tahu bentuk kayu aslinya. Atau
dipresentasikan di kota besar tanpa tahu alamat pengrajin sebenarnya. Yang
harus dihindari betul adalah, menjadikan topeng sebagai komoditas penghasil
rupiah tanpa pernah “menyentuh” nasib para pahlawan-pahlawan topeng. Padahal
mereka tetap menjaga warisan budaya, mempertahankan kemurnian budi pekerti
bangsa.
Nah, sekarang semua
fakor distingushed brand telah dikupas, apa langkah selanjutnya? Sebagai
penguat akar budaya dan penggerak utama pariwisata, faktor ciri khas lokal
konten menjadi jawabannya.
Banyak langkah yang
bisa dilakukan menuju ke arah sana. Misalnya identifikasi perbedaan Malang dengan
kota lain. Tapi yang paling sederhana dan bisa dilakukan secara bersama-sama,
adalah langkah peduli dengan sesuatu yang dekat dan selalu bersinggungan dengan
kita. Yaitu straatnamen (nama-nama Jalan) di Malang.
Kita punya Kayutangan,
Temenggungan, Polehan, Comboran, Kidul Dalem, Mergosono, Kotalama dan banyak
lagi. Itu merupakan aset lokal-konten yang tidak dimiliki oleh kota-kota lain.
Sekarang telah diganti
dengan nama-nama baru yang tidak mempunyai nilai pembeda dengan kota lain.
Masalahnya, punyakah kita keinginan untuk mengembalikan nama-nama jalan yang
menjadi jati diri Malang? Besar kemungkinan nama-nama asli itu masih dicintai
oleh masyarakat Malang sampai sekarang. Mau bukti? Meskipun telah diganti lebih
dari 10 tahun, masyarakat asli Malang tetap bangga berkata,”Sorry jes, ayas
kera Onosogrem (Mergosono)”.
Namanya Malang, Tapi
Nasibnya Tak Malang
Mengapa harus diberi
nama Kota Malang? Padahal semua orang tahu arti kata Malang adalah kurang baik.
Ada tiga versi atas penyebutan nama Malang. Bahkan, sampai ada versi sebutan
Malang itu dari Sultan Mataram.
Terus kalau sudah tahu
artinya kurang baik, kenapa mau tetap menggunakan sebagai nama kota? Setahu
saya, sepanjang sejarah tidak ada peristiwa yang menunjukkan bahwa Malang
bernasib sial. Yang saya pelajari justru nasib Kota Malang sangat beruntung.
Malang satu-satunya
tempat pertahanan, Malang sebagai kunci pertahanan Jawa Timur, Malang sebagai
nominasi ibukota negara, Malang tata kotanya dijadikan model kota Hindia Belanda dan fakta-fakta
sejarah lainnya yang menunjukkan Kota Malang justru sangat spesial.
Saking spesialnya,
sampai pemerintah Belanda tidak ingin keberuntungan kota ini diketahui orang
lain dengan memdudukinya langsung pada 1767 (dengan mendirikan benteng di
Malang untuk menguasai Jawa Timur).
Memang pada
kenyataannya, setelah itu tercatat Malang adalah daerah penghasil devisa
terbanyak untuk ekspor beberapa komoditi pertanian ke berbagai negara Eropa.
Malang dari Nama Bangunan
Suci, Versi Rakyat dari Sultan Mataram
Dan dalam waktu singkat
langsung menduduki kota terbesar kedua di Jawa Timur.
Kalau menyimpulkan
hipotesa di atas, jelas Malang tidak berarti sial tapi justru sangat
menguntungkan. Nah, sekarang sejak kapan kata Malang dipakai sebagai nama
daerah? Atai Malang itu arti sesungguhnya itu apa?
Ada beberapa pendapat
dari penelitian yang layak dipercaya, kapan Malang mulai dikenal. Pendapat
pertama, Malang adalah kependekan dari kata Malangkuceswara atau tepatnya
Bhatara Malangkuceswara seperti disebutkan dalam Prasasti Kedu atau dikenal
dengan Prasasti Mantyasih pada tahun 907 Masehi.
Prasasti tersebut
ditulis atas perintah raja Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri
Dharmodaya Mahasambhu (Shutterheim, 1927). Prasasti yang sekarang berada di
Museum Pusat Jakarta nomor D 40 itu, tertulis Kapujan Bathara I Mangkucecwara.
Namun, perlu kita cermati pendapat yang pertama yang tertulis dalam baris 9
adalah Mangkucecwara dan bukan Malangkuceswara yang kita kenal berarti Tuhan
menghancurkan yang batil.
Pendapat yang kedua,
Malang berasal dari nama suatu bangunan suci. Malangkucecwara yang
diperuntukkan bagi pemujaan dewa Ciwa yang diwujudkan dengan Lingga. Menurut
Prof. S. Wojowasito (1976), nama bnagunan suci itu diambil dari nama daerah di
mana lokasi bangunan itu berada.
Kalau pendapat oitu
benar, berarti ada nama daerah Malangkucecwara. Terus di mana kira-kira daerah
tersebut? Beliau menjelaskan lagi kemungkinan daerah-daerah tersebut. Pertama,
di daerah gunung Buring. Dulu gunung yang membujur ke arah timur kota Malang
tersebut puncaknya bernama Malang. Tetapi pendapat tersebut tidak didukung
dengan data yang akurat. Yang saya tahu, nama gunung Malang disebut dalam peta
tahun 1930 (peta Topografi Malang, Garnizoenkarrt Malang en Omstreken 1938).
Daerah kedua lokasi
bangunan Malang kuceswara itu berada di sebelah utara Tumpang. Menurut beliau,
karena di sana masih terdapat nama desa Malangsuka. Dalam teori metatesis, kata
suka bisa diucapkan kusa. Karena itu, Malangsuka mungkin dulunya adalah Malang
kusa (Malangkucaswara). Pendapat ini diperkuat di daerah Tumpang ditemukan
banyak peninggalan sejarah, seperti Candi Jajago dan Kidal.
Sekarang pendapat yang
ketiga, berdasar penelitian yang dipimpin oleh Prof. Habib Mustopo. Nama Malang
lebih dapat diterima berasal dari sebuah piagam atau prasasti tahun saka 1120
atau 1198 Masehi yang ditemukan pada tanggal 11 Januari 1975 oleh seorang
administratur perkebunan di Bantaran Kabupaten Blitar.
Terdiri dari 8
lempengan prasasti perunggu dari desa Ukirnegara. Menurut beliau, penemuan ini
lebih memberikan keakuratan data. Karena di sini, kata Malang pertama kali
disebut sebagai nama tempat, bukan sebagai nama raja atau kependekan dari
Malangkuceswara.
Disebutkan, taning
sakrida (ning) Malangakalihan wacid lawan macupa-sabhanira deh (dyah)
limpa-20-makanagrani. Yang artinya sebelah timur tempat berburu (di) Malang
bersama Wacid dan Mucu. Nama Malang di sini disebut sebagai daerah di sebelah
Timur Gunung Kawi.
Kemudian, selain dari
pendapat di atas sebenarnya dalam cerita lisan rakyat, kata Malang disebutkan
kali pertama diucapkan oleh Sultan Mataram saat hendak ekspansi ke Jawa Timur.
Pendapat dari masa asal-usul nama Malang bisa disimpulkan sendiri berdasar
data-data di atas, tetapi yang jelas, Malang bukan berarti sial, Malang is not
unlucky city.
Para Penguasa di Malang
Setelah membahas
tentang asal mula nama Malang, selanjutnya kita juga sebaiknya tahu siapa saja
yang pernah menjadi penguasa di Kabupaten Malang atau di Kota Malang. Ada
perbedaan sejarah yang tercatat dalam daftar Bupati Malang dengan data yang
saya dapatkan.
Dalam daftar Bupati
Malang, bupati pertama adalah Raden Tumenggung Kertonegoro (tidak diketahui
sejak kapan) sampai dengan tahun 1822. Data lain berdasar Babad Willis dan
Stamboom den Laststen Vorst van Het Hindoe, Javasnche Rijk van Mojopahit
dijelaskan bupati pertama adalah Raden Aria Malayakusuma, wedana Siti Ageng
Mataram.
Hal ini dikarenakan,
pengakuan Belanda secara resmi memang bupati pertama adalah Bupati RT.
Kertonegoro, sedangkan RA.Malayakusuma adalah notabene pengikut Suropati yang
melawan terhadap Belanda yang mengangkat dirinya sendiri tanpa restu dari
Belanda.
Bupati Malayakusuma
mulai menjabat tahun 1743 dan meninggal tahun 1767. Setelah beliau meninggal,
Belanda mendirikan benteng di sekitar sungai Brantas yang sekarang digunakan
untuk bangunan RSSA. Benteng tersebut berdiri untuk melindungi sisi dalam
Kabupaten Malang yang saat itu sekitar daerah Celaket, Garnizoen (benteng
Kelojian/Klojen), Kayutangan, Tumenggungan dan alun-alun.
Sedangkan daerah di
luar itu, seperti Oro-Oro Dowo, Sawahan masih harus ditundukkan. Untuk
mengamankan semua daerah yang diluar garis tersebut, Belanda mengangkat Bupati
Malang I (menurut Almanaken Naam Register van Nederlands Indie) yang mempunyai
tugas utama membikin anam daerah yang belum aman.
Bupati Malang kedua
adalah Raden Panji Wolasmoro yang memerintah sejak tahun 1823 sampai dengan
tahun 1835 (Algemeen Jaarlijksch Verslag 1823). Bupati Malang saat itu masih
mendapat pengakuan dari pihak Belanda di bawah Bupati Bangil dan Bupati
Pasuruan.
Hal tersebut bias
dilihat dari gaji yang diterima setiap bulannya. Tahun 1823 Kabupaten Malang
merupakan daerah perkebunan yang menghasilkan banyak pajak dari Belanda,
seperti pajak kopi, pajak buah yang banyak dikirim ke Surabaya. Sehingga
infrastruktur jalan menuju Surabaya mulai ditingkatkan menjadi jalan raya.
Bupati Malang ketiga
adalah Raden Tumenggung Notodiningrat yang memegang jabatan Bupati Malang mulai
tahun 1835-1839. Bupati ini dikenal sebagai seorang bupati yang berkepribadian
kuat serta cakap dalam memerintah dan mempunyai seorang patih yang juga mampu
bekerja sama dengan baik.
Sebagai perbandingan,
patih pada wakti itu juga mendapatkan gaji lebih rendah dari patih di Kabupaten
Bangil dan Pasuruan dengan perbedaan sekitar f.200 dengan penduduk 67.443 orang
dengan perbandingan 64.737 orang Jawa, 59 orang Belanda dan 2.498 orang Madura.
Sisanya orang China dan Arab.
Sedangkan Bupati Malang
yang keempat adalah Raden Adipati Ario Norodiningrat (1839-1884). Pada saat
pengangkatan bupati keempat pada 12 November 1839 disebutkan pula pejabat-pejabat
Kabupaten Malang (Amanak tahun 1881) adalah Asisten Residen yang dijabat oleh
A. Van Der Gon Netscher (19 Juli 1878); Patih Raden Ngabehi Joyo Adowinoto (29
Agustur 1877); Letnan China dan Letnan Tituler Kwee Sioe Ing dan Kwee Sioe Go
(23 April 1880); Kepala Bangsa Melayu Encik Raidin (10 Juni 1870); Kepala
bangsa Arab Moo; Sech Awad bin Oemar Aljabari (6 Desember 1877).
Saat itu wilayah
Kabupaten Malang masih terdiri dari 7 kawedanan 64 desa. Kepala daerah
Kabupaten Malang yang kelima adalah Raden Tumenggung Ario Notodiningrat
menjabat bupati tahun 1884-1898. Pada masa pemerintahannya, baru dibangun
tangsi militer di daerah Rampal (Staatblad 1887 no.194) dan jumlah Kawedanannya
bertambah satu, yakni kawedanan Turen.
Selanjutnya Bupati RT
Ario digantikan oleh bupati keenam, yakni Bupati Suryo Adiningrat menjabat
tahun 1898-1934. Pada saat kepemimpinan bupati Suryo banyak sekali perubahan di
Kabupaten Malang. Menurut saya inilah bupati yang paling kaya pengalaman.
Bagaimana tidak, saat diberlakukannya undang-undang desentralisasi tahun 1903,
bupati bersama Asisten Residen Malang dan Dewan Wilayah harus mempersiapkan
kawedanan kota menjadi kotamadya dan baru terlaksana pada tahun 1914.
Beliau juga yang menata
ulang alun-alun dan merenovasi Masjid Jamik Kota Malang. Setelah itu digantikan
oleh Raden Adipati Ariosam tahun 1934 sampai masuknya Jepang ke Malang tahun
1942. Pada saat pemerintah Jepang mengumumkan susunan pejabat sementara,
mengangkat bupati RAA Sam menjadi Malang Syucokan yang merangkap menjadi Kenco
dan Syico.
Selanjutnya Bupati
Malang dijabat oleh R. Soedomo (1945-1950); H. Said Hidayat (1950); R.Mas
Tumenggung Ronggo Moestedjo (1947-1950); Mas Ngabehi Soentoro (1950-1958);
Soendoro Hardjoamidjojo (1958-1958); Mas Djapan Notoboedojo (1959-1964); Moch.
Sun’an SH (1964-1969); R.Soewignjo (1969-1980); Kolonel Inf.Eddy Slamet
(1980-1985); Kolonel Inf. H. Abdul Hamid Mahmud (1985-1995); Kolonel Inf.
Muhammad Said (1995-2000); Ir. Moch Ibnu Rubianto, M.BA (2000-2002) dan
masa-masa sekarang dijabat oleh H. Sujud Pribadi, S.Sos, S.E kemudian
digantikan H. Rendra Kresna.
Sedangkan setelah
dibentuknya Kotapradja Malang tahun 1914, Kota Malang belum mempunyai wali kota
sampai 1919 dengan wali kota pertama yang bernama HI. Bussemaker (1919-1929).
Selanjutnya dijabat Vorneman (1929-1933); Lakeman (1933-1936); J.H. Boerstra
(1936-1942); M. Soehari Hadinoto (1948-1950); Sardjonowirjohardjono
(1945-1958); Koesno Soeroatmodjo (1958-1966); Kol. M. NG. Soedarto (1966-1968);
R.Indra Soedarmadji (1968-1973); Soegiyono (1973-1983); Drs. Soeprapto (1983);
Dr. Tom Uripan, S.H (1983-1988); H.M. Soesamto (1988-1998); H. M. Soeyitno
(1998-2003) dan sekarang dijabat oleh Drs. Peni Suparto, M.AP.
Lambang Kota Malang
Lambing Stadsgemeente
Malang ditetapkan dengan surat keputusan Stadshemeenteraad, 7 Juni 1937 Nomor :
AZ 407/43 disahkan Gouverment Besluit dd 25 April 1938 N 027 dengan sesanti,
Malang Nominor Sursum Moveor (Malang Namaku Maju Tujuanku). Tanggal 30 Oktober
1951 DPRD Kotamadya Malang mencabut dan mengganti dengan yang baru berdasar SK
51 DPR disahkan dengan keputusan Presiden RI tanggal 29 November 1954 Nomor 237
Gambar Burung Garuda dengan sesanti yang sama.
Tanggal 10 April 1964
dengan keputusan DPRD Nomor: 7/DPRDGR sesanti Kotamadya Malang diganti menjadi
Malaangkuca-icwara atau lazim dibaca dalam kalimat lengkap Malang Kuceswara
(Tuhan Menghancurkan Yang Bathil).
Sumber: http://pattiromalang.blogspot.co.id/2012/04/kisahsejarah-kota-malang-yang-tak.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar